by admin | 21 Sep 2024 | Artikel, Kolom Rektor
Sejak saya diberi amanah oleh Yayasan Fahmina sebagai Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) pada tahun 2021, saya mendeklarasikan ISIF sebagai Kampus Transformatif. Tepatnya, kampus transformatif untuk keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta.
Tidak hanya itu, saya juga menetapkan visi ISIF untuk menjadi pendidikan tinggi keagamaan unggul dalam riset Islam, gender, dan transformasi sosial pada tahun 2036.
Tekad ini sebetulnya tidak terlalu berlebihan jika menimbang pengalaman Fahmina-institute yang telah bergelut sebelumnya dalam aktivitas intelektualisme, gerakan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Sejumlah buku hasil kajian dan riset telah diterbitkan. Sejumlah komunitas sosial di berbagai daerah didampingi dan diberdayakan. Sejumlah kebijakan publik diadvokasi. Kerjasama program dilakukan dengan lembaga tingkat lokal, nasional, dan internasional.
Deklarasi Kampus Transformatif bagi saya mencerminkan ruh pemikiran dan gerakan Fahmina yang selama ditancapkan dalam pengalaman sosial. ISIF –yang didirikan Yayasan Fahmina– harus menjadi titik berangkat dan restorasi akademik dari cita peradaban Yayasan Fahmina. Yakni, peradaban umat manusia yang adil dan bermartabat berbasis tradisi kritis Pesantren. Sarjana ISIF yang dihasilkan harus menjadi bengkel peradabannya.
Tulisan berikut hendak mengelaborasi gagasan dan implementasi Kampus Transformatif yang telah saya canangkan. Tentu saja, tulisan ini baru sebatas pokok-pokok pikiran utama yang masih membutuhkan elaborasi yang lebih operasional dan aplikatif.
Makna Kampus Transformatif
Secara leksikal, menurut KBBI, transformasi berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Transformasi juga mengandung arti perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya.
Dengan demikian, Kampus Transformatif bermakna kampus yang berorientasi pada perubahan, baik perubahan mindset, sikap, dan perilaku civitas akademika, maupun perubahan masyarakat yang menjadi muara dari kehidupan kampus.
Secara tegas, kampus transformatif yang dimaksud adalah kampus yang membawa visi dan misi perubahan sistemik struktural relasional dalam kehidupan masyarakat untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian bagi semesta.
Mandat Sejarah
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) adalah perguruan tinggi keagamaan Islam yang didirikan oleh Fahmina pada 1 September 2007 atas permintaan masyarakat yang disampaikan pada resepsi ulang tahun Fahmina-institute ketujuh pada tahun 2007 di Cirebon.
Fahmina adalah NGO (organisasi non-pemerintah) yang didirikan pada November 2000 di Cirebon yang bertujuan mewujudkan peradaban manusia yang bermartabat dan berkeadilan berbasis kesadaran kritis tradisi pesantren.
ISIF didirikan untuk menopang cita sosial perjuangan Fahmina, dengan cara: pertama, menghasilkan sarjana Islam yang berintegritas, humanis, adil, dan transformatif, yang disingkat Sarjana Islam BERHATI. Yakni, sarjana Islam yang berperspektif kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kebinekaan, dan kearifan lokal dalam pengetahuan holistik keislaman yang transformatif.
Paradigma Koneksi Sinergis
Sebagai implementasi dari pilihan kampus transformatif, ISIF tidak memisahkan antara pendididikan, riset, dan pengabdian kepada masyarakat. Tri dharma ini adalah mata rantai yang saling terhubung dan berkait. Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk riset dan pengabdian kepada masyarakat. Riset dilaksanakan untuk kebutuhan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari riset dan pendidikan, dan untuk menginspirasi pengembangan pendidikan dan riset.
Transformasi dalam Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat
Dengan demikian, menjalin hubungan yang intensif mutualistik dengan masyarakat dan/atau suatu komunitas sosial sebagai kawasan studi bersama (co-learning area) adalah keniscayaan bagi ISIF.
ISIF harus belajar dari masyarakat dan masyarakat pun belajar dari ISIF. ISIF dan masyarakat saling belajar untuk membangun ilmu pengetahuan masyarakat (people knowledge building).
Semua keilmuan ISIF, arah riset dan pembelajarannya harus dikaitkan dengan realitas lokal (lokalogi, ilmu lokal) di mana masyarakat berada.
Dosen dan mahasiswa hidup bersama, belajar bersama, meneliti bersama, menganalisis bersama, dan mengubah bersama (partisipatoris) praktik keseharian masyarakat, baik melalui riset maupun pengabdian kepada masyarakat.
Riset dan pengabdian kepada masyarakat ISIF berada dalam kehidupan masyarakat. Civitas akademika harus hidup bersama masyarakat untuk berproses mengenali, memahami, mengerti, menganalisis, hingga mengubah kehidupannya secara bersama-sama.
Dosen dan mahasiswa belajar bersama masyarakat. Untuk kebutuhan ini, ISIF harus memiliki sujumlah desa sebagai kawasan studi dan perubahan sosial.
Tranformasi dalam Pendidikan
Implementasi transformasi dalam pendidikan adalah mendialogkan teks-teks keagamaan dan realitas sosial secara simultan. Ada tiga jenis riset yang harus dilakukan oleh mahasiswa dan dosen ISIF dalam setiap pembelajaran.
Pertama, riset ensiklopedis. Dosen mengidentifikasi sejumlah keywords sebagai titik masuk ke mendalami substansi pembelajaran yang digeluti, lalu mahasiswa meriset semua keywords tersebut dengan studi ensikopedis. Yakni, mencari, menemukan, dan mempelajari akar istilah: apa, mengapa, bagaimana, kapan, di mana, siapa, sejarahnya, pendapat para ahli, perbedaannya dengan kata sejenis, melalui buku-buku ensiklopedis yang tersedia. Setelah itu, mahasiswa diminta untuk mempresentasikan hasil riset ensiklopedis ini di kelas.
Kedua, riset bibliografis. Mahasiswa diminta meriset buku-buku yang relevan dengan bahan pembelajaran, terutama buku induk (babon). Minimal 3 buku induk harus diriset dan dibaca hingga tuntas, dipahami, dan dianalisis. Lalu, hasil riset ini dipresentasikan di kelas di hadapan teman sejawat.
Ketiga, riset sosial. Hasil riset ensiklopedis dan bibliografis didialogkan dengan realitas sosial terkait dengan isu yang didalami. Mahasiswa diminta melakukan riset sosial lapangan terkait temuan-temuan dari riset ensiklopedis dan bibliografis. Riset lapangan ini sebisa mungkin menggunakan pendekatan partisipatoris.
Kapasitas Dosen dan Mahasiswa yang Dibutuhkan
Dengan demikian, di antara kapasitas dosen dan mahasiswa ISIF yang harus dimiliki adalah menguasai metodologi participatory action research (PAR), analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, sosiologi pedesaan, antropologi sosial, dan advokasi, serta terjun langsung ke masyarakat desa yang menjadi kawasan studi. ISIF memastikan dosen dan mahasiswa memiliki kapabilitas ini.
Dengan cara ini, dalam waktu minimal lima tahun secara konsisten dan simultan, ISIF akan tampak mewujud menjadi kampus transformatif sebagaimana dicita-citakan.**
by Admin | 25 Jun 2024 | Kolom Rektor
ISIF CIREBON – Pada tanggal 1 Juni 2024 kemarin, saya diundang dan menghadiri Festival Turath Islami Selangor (FTIS) II yang diselenggarakan oleh Kerajaan Negeri Selangor, Malaysia. Acaranya dipusatkan di Mesjid Sultan Salahuddin Abd Azis Shah di Shah Alam, Selangor.
Festival Turath Islami II ini fokus mengaji dan mengkaji Kitab Riyadlush Sholihin min Kalami Sayyidil Mursalin, karya Imam Nawawi (631-676 H/1233-1277 M). Sebelumnya, pada Festival Turath Islami I mengkaji dan mengaji Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M).
Hadir dalam Festival Turath Islami kedua ini adalah YAB Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar bin Ibrahim membuka Syarahan (Seminar), Al-Imam Profesor Dr. Ali Juma’ah, YAB Dato’ Menteri Besar Datuk Seri Amirudin bin Shari, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, Habib Jindan bin Novel bin Salim, Tengku H. Faisal Ali, Ustd. Dr. Adi Hidayat, saya sendiri, dan ulama lain dari Malaysia.
Dalam FTIS II ini, saya mengisi di sesi pertama membahas peradaban akhlak dari Kitab Riyadush Sholihin bersama dengan Prof. Dato’ Dr. Muhammad Nur bin Manuty dari Malaysia.
Dalam paparan ini, saya menjelaskan bahwa kitab yang ditulis oleh al-Imam al-Allamah Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi memiliki peranan penting dalam mewarnai peradaban Islam sejak abad ke 13 M hingga sekarang.
Buktinya, kitab Riyadlush Sholihin setidaknya disyarahi oleh 13 kitab syarah dan dibaca oleh hampir setiap ulama yang mendalami ajaran Islam di seluruh pesantren dan lembaga pendidikan Islam, baik di Indonesia maupun di dunia.
Dari Kitab Riyadush Sholihin, kita bisa memetik butiran nilai, prinsip, norma, etika, dan etiket dalam membangun diri yang sholih dan mushlih, keluarga yang mashlahat, masyarakat yang khaira ummah, dan negara yang thayyibatun wa rabbun ghafur untuk mewujudkan peradaban umat manusia yang rahmatan lil ‘alamin.
Oleh karena Riyadush Sholihin adalah kitab hadits, maka tantangannya adalah bagaimana kita mampu membaca Kitab Riyadush Sholihin secara kontekstual (siyaqiyyah), mampu menangkap makna substantif (cum maghza), maqoshid asy-syari’, dan membumikannya dalam kehidupan masyarakat dan bangsa melalui kebijakan publik dan pembudayaan, hingga menjadi etika sosial, etika politik, etika birokrasi, etika hukum, etika ekonomi, dan etika global.
Saya mengatakan bahwa peradaban akhlak yang ingin dibangun oleh Imam Nawawi melalui Kitab Riyadush Sholihin berbasis pada tauhidullah (spiritualitas monotheis) dan diorientasikan tidak saja untuk kebahagiaan di dunia, tetapi juga kebahagiaan di akhirat (eskatalogis).
Ini dibuktikan dengan pembahasan dalam Kitab Riyadush Sholihin dimulai dengan bab al-ikhlash wa ihdlari an-niyyati fi jami’ al-a’mal wa al-aqwal wa al-ahwal al-barizah wa al-khafiyyah dan diakhiri dengan bab al- istighfar dan bab ma a’adda Allahu ta’ala li al-mu’minina fi al-jannah.
Bab al-ikhlash di sini bermakna tauhidullah, karena Imam Nawawi membuka babnya dengan mengutip al-Qur’an Surat al-Bayyinah Ayat 5, yakni “Wa mā umirū illā liya’budullāha mukhliṣīna lahud-dīna ḥunafā`a wa yuqīmuṣ-ṣalāta wa yu`tuz-zakāta wa żālika dīnul-qayyimah”
Artinya “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” []
by Admin | 8 Apr 2024 | Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
ISIF CIREBON – Belum lama ini, Jemaah Masjid Aolia Gunungkidul, Yogyakarta merayakan hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1445 pada Jumat 5 April 2024 atau lima hari lebih awal dari lebaran umat Islam lainnya yang diprediksi jatuh pada 10 April 2024.
Hari Raya Idul Fitri yang dilaksanakan Jemaah Masjid Aolia bukan tanpa alasan. Seperti informasi yang ramai beredar di media sosial, sosok pemimpin Jemaah Masjid Aolia, Raden Ibnu Hajar Pranolo atau yang biasa disapa Mbah Benu memberikan jawaban bahwa penetapan hari Raya Idul Fitri 1 Syawal pada 5 April 2024 itu karena dirinya telepon langsung Allah Swt dan Allah Swt ngendika (berfirman), Idul Fitri jatuh pada Jumat 5 April 2024.
Dari jawaban inilah, membuat jagat maya cukup ramai bergejolak. Tidak sedikit warganet yang mencaci maki, nyinyir, menghujat, bahkan menuduhnya sebagai pimpinan kelompok yang sesat.
Dengan melihat banyaknya hujatan dan caci maki kepada Mbah Benu, lalu bagaimana sikap kita?
Pertama-tama perlu diketahui bahwa dalam konteks keislaman, ada banyak pemahaman, penafsiran, dan juga madzhab. Mulai dari yang tekstual hingga yang liberal, semuanya ada dalam pemahaman keislaman kita.
Bagaimana sikap kita? Tentu kita harus berpegang pada apa yang kita yakini benar. Saya, misalnya, sebagai muqallid Ahlissunnah wal Jama’ah an-Nahdliyyah meyakini bahwa awal bulan Syawal ditentukan dengan Ru’yatil Hilal (melihat bulan langsung), dengan dalil:
صوموا لرأيته وأفطروا لرأيته
Penetapannya dilakukan oleh pemerintah (qodli) untuk menghilangkan perbedaan yang ada, sesuai dengan kaidah:
حكم القاضي إلزام ويرفع الخلاف
Bagi saya, keputusan awal Syawal menunggu hasil sidang itsbat dari Kementerian Agama RI.
Bagaimana menyikapi mereka yang berbeda? Maka berlaku kaidah:
الاجتهاد لاينقض بالاجتهاد
Jika itu hasil ijtihad, maka biarkan hasil ijtihad itu bersanding. Karena suatu ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad yang lain, biarkan mereka berjalan sesuai dengan keyakinan masing-masing.
لنا منهجنا وأعمالنا ولكم منهجكم واعمالكم
Bagaimana dengan Mbah Benu yang telepon Allah Swt secara langsung?
Kita jangan memahami telepon di sini adalah telepon menggunakan Handphone (HP) dan alat komunikasi lain. Karena Allah Swt jelas bukan makhluk, ليس كمثله شيئ، maka sudah pasti tidak bisa ditelepon dengan HP atau sejenisnya. Jika kita memahami ditelepon menggunakan HP, lalu menyalahkan Mbah Benu, maka sesungguhnya nalar kita juga salah. Sudah pasti Allah Swt tidak bisa ditelepon menggunakan HP.
Dengan demikian, bahasa ditelepon yang digunakan Mbah Benu adalah majazan, bukan haqiqatan. Mbah Benu mungkin melakukan kontak langsung dengan Allah Swt dengan lisan sebagaimana kita berdoa, berdzikir, atau dengan dengan hati sebagaimana kita istikharah dan berdzikir. Dengan ikhtiar yang dia lakukan, lalu diperolehlah jawaban itu.
Jika pemahaman “telepon” adalah seperti ini, bukankah tidak ada beda dengan yang selama kita lakukan dalam berdoa, berdzikir, istikharah dan lain-lain, lalu timbul keyakinan yang kita anggap benar sebagai suara atau jawaban dari Tuhan?
Perbedaan cara penentuan awal Syawal yang dilakukan oleh Mbah Benu, kita uji saja dalam metodologi ilmiah keislaman? Adakah metodologi ini dalam sejarah dan literatur keislaman kita? Jika ada, this is a fine!. Jika tidak ada, maka apakah ini varian baru dari pemahaman keislaman? Mari kita uji, kita tabayyun dulu, lalu kita diskusikan agar memperoleh informasi, data, pengetahuan yang sebenarnya dari Mbah Benu dan para pengikutnya. Bukankah ilmu itu dinamis dan berkembang?
Saya kira sikap ini yang perlu kita kembangkan, bukan mencaci, mencela, dan menyesatkan. Terlalu prematur dan bukan sikap bijak jika kita memosisikan Mbah Benu dengan berbagai posisi tersebut. Toh Mbah Benu dan para pengikutnya adalah ahlil qiblah, ahli shaum, muzakki, dan semua ajaran keislaman dilakukannya dengan taat.
Kalaupun nanti setelah tabayyun dan diskusi, misalnya, ditemukan tidak ada landasan manhajiyyah dalam keislaman kita, maka adalah kewajiban kita untuk mendakwahkan Bil Hikmah Wal Mau’idhatil Hasanah dengan mereka. Lagi-lagi, bukan dengan cara mencela, mencaci, dan menyesatkan mereka.
Jika sudah didakwahkan Bil Hikmah Wal Mau’idhatil Hasanah masih belum berubah dan tidak mau berubah, ya sudah kita kembalikan kepada Allah, sebagaimana Nabi Saw mendoakan kaumnya:
اللهم أهد قومي فانهم لايعلمون
Dalam konteks kebangsaan, menurut saya Mbah Benu tidak melakukan kesalahan secara hukum. Mbah Benu dan pengikutnya hanya melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya saja. Mereka tidak memaksakan keyakinannya kepada pihak lain. Bahwa ijtihadnya benar atau salah, itu bukan urusan negara dan masyarakat. Itu adalah urusan Tuhan. Biarkan mereka mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan nanti.
Kita tidak boleh mencela, memaki, mengolok-olok, dan merendahkan semua orang yang berbeda dengan kita. Mereka adalah manusia. Mereka adalah warga negara Indonesia. Mereka adalah umat Islam juga. Tidak ada hak kita untuk merendahkan derajat dan martabat mereka. []
by Admin | 11 Feb 2024 | Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
ISIF CIREBON – Dalam Webinar bertajuk “Pemilu Perspektif Interfaith, Cerdas Memilih Demi Masa Depan Bangsa” pada 9 Februari 2024 lalu, saya menyampaikan beberapa poin. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Pemilu 2024 sungguh sangat penting. Peristiwa 5 tahun sekali itu adalah titik pijak masa depan Indonesia. Tidak saja akan berdampak pada nasib masa depan manusia Indonesia yang berbineka, tetapi juga berpengaruh pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia yang melimpah.
Kesalahan menusukkan paku pada kertas suara di bilik TPS akan membelokkan atau menjerumuskan arah masa depan Indonesia.
Oleh karena itu, dalam Islam memilih pemimpin, baik untuk pemimpin lembaga eksekutif maupun legislatif, hukumnya wajib kifa’iy.
ونصب الإمام من أتم مصالح المسلمين، وأعظم مقاصد الدين. ومن أجلها أجمع العلماء على أن ذلك من الواجبات الكفائية التي إذا قام به أهلها سقط طلبها عن الباقين
“Mengangkat pemimpin adalah termasuk instrumen terpenting bagi kemasalahatan umat Islam dan perwujudan tujuan terbesar agama. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban kolektif. Jika telah ditunaikan, maka yang lain terbebas dari kewajiban tersebut.”
Dalam konteks ini, Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din berargumentasi:
الملك والدين توأمان. فالدين أصل والسلطان حارس ، وما لا أصل له فمهدوم ، وما لا حارس له فضائع
“Kekuasaan dan agama (ibarat) saudara kembar. Agama adalah landasan (fondamen). Pemerintah (negara) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki landasan, maka akan tumbang. Sesuatu yang tidak memiliki penjaga, maka akan hilang (sia-sia).”
Dalam Kitab al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Imam al-Ghazali juga berargumentasi:
والسلطان ضروري في نظام الدين ونظام الدنيا، ونظام الدنيا ضروري في نظام الدين، ونظام الدين ضروري للفوز بسعادة الآخرة، وهو مقصود الأنبياء قطعاً. فكان وجوب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه.
“Pemerintah itu sangat penting untuk menjamin pelaksanaan agama dan pengelolaan dunia. Pengelolaan dunia sangat penting untuk menjamin pelaksanaan agama. Pelaksanaan agama sangat penting untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Inilah tujuan yang pasti dari seluruh Nabi hadir. Oleh karena itu, kewajiban adanya pemimpin termasuk urusan primer dalam agama yang tidak bisa ditinggalkan.”
Sementara Ibn Taimiyyah dalam Kitab al-Siyasah al-Syar’iyyah menegaskan:
يجب أن يُعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين بل لا قيام للدين إلا بها
“Perlu diketahui bahwa kekuasaan (negara) merupakan salah satu kewajiban terbesar agama, yang tanpanya agama tidak akan tegak.”
Adapun terkait pentingnya pemimpin, Imam al-Mawardi dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah menyatakan,
ألإمامة موضوعة لخلافة النبوّة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Kepemimpinan dibentuk untuk meneruskan misi kenabian (profetik) dalam menjaga agama dan mengatur dunia”
Misi kenabian menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah dalam Kitab al-Thuruq al-Hukmiyyah adalah menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana tegaknya langit dan bumi untuk semua makhluk Tuhan.
فإن الله سبحانه أرسل رسله وأنزل كتبه ليقوم الناس بالقسط وهو العدل الذي قامت به الأرض والسموات فإذا ظهرت أمارات العدل وأسفر وجهه بأي طريق كان فثم شرع الله ودينه. أن مقصوده إقامة العدل بين عباده وقيام الناس بالقسط فأي طريق استخرج بها العدل والقسط فهي من الدين وليست مخالفة له.
“Sesungguhnya Allah SWT mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia dapat menegakkan keadilan, yaitu keadilan yang mana bumi dan langit tegak. Jika perangkat keadilan tampak dan terwujud dalam bentuk apapun, maka di situlah syariat Allah dan agama-Nya. Tujuan-Nya adalah untuk menegakkan keadilan di antara hamba-hamba-Nya dan kehidupan manusia dengan adil. Segala cara untuk mencapai keadilan adalah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengan agama.”
Sangat jelas, Pemilu akan bermakna secara teologis dan penting bagi kemanusiaan apabila dilakukan sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia melalui pemimpin yang kita pilih.
Sebaliknya, Pemilu menjadi tidak bermakna dan tidak penting sama sekali secara teologis — bagi kontestan dan pemilih– apabila dilakukan semata-mata karena kekuasaan yang mereka rebut dan politik transaksional yang mereka peroleh atau janjikan.
Kepemimpinan dalam Islam identik dengan keadilan. Kepemimpinan membawa misi profetik, menegakkan keadilan, kemaslahatan, dan membebaskan umat manusia dari ketertindasan dan ketimpangan. Pemimpin yang baik seharusnya mampu melakukan dan mewujudkan misi profetik ini.
Dalam konteks ini, Ibn Taimiyah menyatakan:
إنَّ الله يُقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة ، ولا يُقيم الدولة الظالمة وإن كانت مسلمة
“Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (dipimpin oleh pemimpin atau berdasarkan) non Islam. (Sebaliknya) Allah tidak akan menegakkan negara dzalim (korup, otoriter, tiran) meskipun (dipimpin oleh pemimpin atau berdasarkan) Islam.”
Dengan demikian, dalam Pemilu 2024 ini pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang bisa menyelamatkan masa depan manusia Indonesia dan seluruh sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Jangan memilih seseorang karena mereka menyuap kita atas nama apapun, karena janji-janji muluk yang belum pasti terealisasi, karena paksaan yang kita tidak bisa menghindarinya, karena intimidasi yang sangat halus dengan dalih agama dan playing victim, dan apalagi teror yang jelas-jelas mencerabut kebebasan kita.
Dalam bilik yang personal itu, pilihlah pemimpin dan wakil rakyat yang sesuai dengan kriteria ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengimajinasikan bangsa terbaik (mabadi’ khaira ummah), yaitu seorang pemimpin atau wakil rakyat yang jujur (الصدق) tidak korup, terpercaya dan terbukti memenuhi janji (الامانة والوفاء بالعهد), bersikap adil dan berprinsip keadilan (العدالة), melayani, menolong, dan memberdayakan (التعاون), dan konsisten (الاستقامة) tegak lurus dalam keadilan dan kemaslahatan.
Siapa mereka? إستفت قلبك (mintalah fatwa pada hati nuranimu)!
by Admin | 9 Jul 2023 | Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
ISIF CIREBON – Betul kata banyak orang, haji tahun 2023 berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Haji pasca Covid-19 ini betul-betul mbludak. Tidak hanya jamaah haji Indonesia, tetapi juga jamaah haji negara lain.
Indonesia mengirimkan 229 ribu orang jamaah haji, 100 persen kuota plus 8000 jamaah haji tambahan. Data Siskohat menyebutkan satu dari tiga jamaah haji Indonesia adalah Lansia. Data BPS 2020 menyebutkan satu dari empat Lansia mengalami sakit dengan berbagai jenisnya.
Selain itu, haji tahun 2023 jatuh pada musim panas, mencapai 46 derajat Celcius. Bagi orang Indonesia yang biasa hidup dalam suhu 26-27 derajat Celcius, ini adalah tantangan sangat berat.
Mengelola manusia 229 ribu yang 30% nya adalah Lansia di tengah jutaan manusia dalam suhu 46 derajat Celcius yang sebagian besar akvitasnya adalah jalan kaki kiloan meter tentu adalah pekerjaan tidak mudah.
Sebagai petugas haji yang diamanatkan oleh Pemerintah pada tahun 2023, kami memiliki pengalaman yang unik dan menarik yang mungkin jarang ditemui oleh penyelenggaraan haji sebelumnya.
Saya yakin semua petugas jamaah haji memiliki pengalaman unik masing-masing. Apabila dituliskan semuanya tentu ruang ini tidak akan cukup menampung. Tetapi beberapa pengalaman penting ditulis sebagai kesaksian sejarah.
Tepatnya pada 14 Juni 2023, di suatu hotel wilayah Sektor 3 Madinah, ada agenda pendorongan jamaah haji dari Madinah menuju ke Mekah. Seperti biasa, semua petugas haji sektor 3 berangkat menuju hotel itu untuk membantu, melayani, dan memastikan semua jamaah haji –terutama Lansia– terangkut secara manusiawi dalam bus beserta barang-barangnya.
Nah, pada hari itu listrik di hotel itu konslet. Sehingga lift alat angkut naik turun jamaah haji di hotel itu tidak berfungsi. Padahal hotel itu memiliki 10 lantai. Kebetulan Kloter jamaah haji yang hendak didorong berangkat ke Mekah ini singgah di lantai 10, 9, dan 8.
Dari sisi usia, sepertiga jamaah haji di Kloter ini adalah Lansia. Dari sepertiga itu, ada sekitar 15-an orang Lansia yang berkebutuhan khusus, baik karena tidak bisa jalan sehingga bergantung pada kursi roda, tidak bisa melihat, berpenyakit jantung yang melekat padanya alat deteksi jantung, dan lain-lain.
Apa yang terjadi dan apa yang kami lakukan menghadapi situasi seperti ini?
Oleh karena lift tidak berfungsi dan tidak ada alat turun lain, maka kami menggunakan tangga darurat sebagai jalan untuk menurunkan koper kecil dan 314 jamaah haji. Kebetulan koper besar sudah diturunkan sehari sebelum lift bermasalah.
Bisa kebayang energi yang harus dikeluarkan oleh jamaah dan petugas haji dalam menurunkan koper kecil dan menuntun, memapa, dan menggotong jamaah haji dari lantai 10, 9, dan 8 hingga lantai lobby di hotel itu.
Ini bukan 1 atau 50 orang, tapi 314 orang yang jamaah laki-lakinya sudah berpakaian ihram, karena untuk niat ihram di miqot Abyar Ali atau Dzul Hulaifah.
Kalau hanya menuntun dan memapa jamaah Lansia, meskipun ngos-ngosan karena berkali-kali naik turun tangga darurat, ini masih terhitung ringan.
Ini ada 3 jamaah Lansia yang harus digotong dengan kursi rodanya dari lantai 10 hingga ke lantai lobby melalui tangga darurat. Empat orang gak cukup, kami harus berestafet menggotong Lansia berkursi roda ini. Tidak kuat hanya petugas, kami juga dibantu oleh ‘ummal untuk menggotong dari lantai 10 ini.
Inilah sebagian realitas yang kami hadapi dan lakukan. Ini tentu membutuhkan kesabaran, keikhlasan, dan ketekunan yang tak bertepi. Hanya doa dan maunah dari Allah kami harap agar kami tetap sehat, kuat, semangat, dan ikhlas.
Melayani jamaah haji adalah kemuliaan bagi kami. []
by Admin | 7 Jul 2023 | Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
PLURALISME MENJADI KESADARAN
ISIF CIREBON – Tanpa kesadaran pluralisme, ibadah haji tidak akan terselenggara dengan baik. Tanpa kesadaran pluralisme, setiap jamaah haji akan sibuk menyalahkan, membid’ahkan, dan menyesatkan amalan jamaah haji yang lain. Bukan ibadah yang dilaksanakan, tetapi debat, tuduh-menuduh, dan bisa jadi saling membunuh akibat perbedaan yang dipraktikkan.
Kita tahu, dalam pelaksanaan ibadah haji di Mekah kumpul jutaan umat Islam dari berbagai negara yang memiliki paham, aliran, madzhab, dan anutan tokoh yang berbeda-beda.
Dalam satu barisan shalat, ada yang takbiratul ihram dengan mengangkat tangan, ada yang tidak. Setelah takbiratul ihram, ada yang tangannya sedakep, ada yang tidak. Ketika baca surat al-Fatihah, ada yang diawali dengan bismillah, ada yang langsung alhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Pada jamaah haji perempuan, ada yang sholat memakai mukena berwarna-warni, ada yang pake baju biasa tampak tangannya, tampak rambutnya, dan ada yang mengumpul sesama jamaah perempuan, ada yang bersanding dengan jamaah laki-laki, dan seterusnya.
Walhasil, praktik ibadah selama pelaksanaan ibadah haji beragam, berbeda, beraneka, dan berwarna. Ntah karena pahamnya, alirannya, madzhabnya, atau karena ketidaktahuannya.
Dalam pelaksanaan ibadah haji, kumpul semua pengikut aliran dan madzhab dalam Islam: Syiah, Sunni, Wahabi, Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Ja’fariyah, Ibadliyyah, Zaidiyyah, Dhohiriyyah, dan yang tidak bermadzhab.
Kalau mereka adalah ekstremis agama yang hanya memutlakan pahamnya, lalu memaksakan pahamnya kepada orang, maka tentu ibadah haji menjadi ajang debat, baku hantam, saling menuduh, dan bisa jadi saling membunuh karena menghalalkan darah orang yang berbeda paham dengannya.
Akan tetapi, nyatanya tidak terjadi. Tidak ada perdebatan, tidak ada baku hantam, dan apalagi juga tidak ada pembunuhan karena perbedaan ini.
Mereka semuanya melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya, dan menghargai keyakinan dan praktik keagamaan orang lain. Meski berbeda, mereka diam dan menghargai.
Perbedaan bukan hanya dalam keyakinan dan praktik ibadah, tetapi juga dalam ekspresi keagamaan.
Sungguh menjadi potret kehidupan keagamaan yang menarik dan so sweet. Setiap orang meyakini keyakinannya dan mempraktikkannya secara sungguh-sungguh tanpa menyalahkan keyakinan orang lain.
Maha benar Allah dalam firman-Nya:
قُلۡ اَ تُحَآجُّوۡنَـنَا فِى اللّٰهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّکُمۡۚ وَلَنَآ اَعۡمَالُـنَا وَلَـكُمۡ اَعۡمَالُكُمۡۚ وَنَحۡنُ لَهٗ مُخۡلِصُوۡنَۙ ١٣٩
“Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu hendak berdebat dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu, dan hanya kepada-Nya kami dengan tulus mengabdikan diri.”
Menurut saya, inilah toleransi. Inilah Islam. Beragam. Berbeda. Beraneka. Berwarna. Tetapi saling menghargai dan menghormati.
Diakui atau tidak, mereka sesungguhnya telah mempraktikkan kesadaran pluralisme dalam praktik keberagamaan. []