(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Serpihan Cerita Baik dari Jerusalem

Oleh: Nurul Bahrul Ulum (Sekretaris Pusat Studi Islam, Gender, dan Anak (PUSIGA) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon)

ISIF CIREBON – Selama ini aku sering mendengar Israel hanya kaitannya konflik dengan Palestina. Beberapa bulan yang lalu aku menyimak langsung cerita baik tentang Jerusalem dari Prof. Ronit Ricci, professor di Hebrew University of Jerusalem.

Prof. Ronit menjelaskan bahwa populasi Jerusalem adalah 950.000 orang. Dari populasi tersebut, 64% beragama Yahudi, 34% beragama Islam (Palestina), dan 2% beragama Kristen (Palestina). So, Jerusalem bukan kota dengan tunggal agama.

Sebaliknya, Jerusalem dikenal sebagai kota suci tiga agama. Mengapa suci?

Pertama, di Jerusalem ada Masjid al-Aqsha atau sering disebut al-haram ash-sharif (tempat suci yang mulia). Situs suci umat Islam ini pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum Nabi Muhammad SAW mendapat perintah untuk menjadikan Ka’bah sebagai kiblat. Jerusalem juga kota di mana  Nabi SAW mi’raj dari Masjid al-Aqsha ke sidratul muntaha dalam satu malam.

Kedua, di Jerusalem juga ada Gereja Makam Kudus. Situs suci yang dipercayai dan banyak diziarahi oleh umat Kristen sebagai tempat penyaliban sekaligus kebangkitan Yesus dari kematian.

Ketiga, di Jerusalem  juga ada Tembok Ratapan. Situs suci dan sangat sakral bagi orang Yahudi untuk berdo’a secara khusuk dengan satu tangan menyentuh dinding tembok. Dipandang suci, karena tembok ini satu-satunya tembok luar yang masih ada dari temple (tempat ibadah) Yahudi yang dihancurkan oleh Romawi pada tahun 70 Masehi. Mirip dengan tradisi shalat umat Islam di mesjid, laki-laki perempuan di depan tembok ini terpisah dengan hijab.

Secara geografis, tiga situs suci dari tiga agama ini letaknya sangat berdekatan. Walaupun memang ada ketegangan dan kekerasan di kota ini, tetapi masih dijumpai ruang bagi mereka yang berbeda agama untuk saling berinteraksi dan hidup berdampingan secara damai. Di sinilah cerita-cerita baik itu ada!

Prof Ronit bercerita mulai dari kehidupan di kampus tempatnya mengajar, Herbew University of Jerusalem, hingga ruang publik yang luas, seperti pasar, swalayan, rumah sakit, institusi pemerintahan,  dan tempat ziarah situs suci tiga agama tadi. Di tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang ini, termasuk civitas akademika kampus yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat, dan staf, mereka semuanya hidup berdampingan dengan damai.

Cerita baik lainnya dari Prof. Ronit adalah upaya-upaya perdamaian yang dibangun dan diinisiasi oleh masyarakat sipil melalui pendidikan multikultural. Namanya “Yadan Biyadin” (hand in hand). Yakni, sebuah NGO yang mendirikan sekolah inklusif dan setara bagi masyarakat Israel dan Palestina. NGO ini sudah berdiri sejak tahun 1998 dan menginisiasi pendidikan inklusif yang dimulai dengan 50 anak. Saat ini, Yadan Biyadin sudah memiliki 7 sekolah dengan jumlah murid lebih dari 2000 siswa. Hal ini membuktikan bahwa dalam perbedaan yang ada mereka bisa hidup bersama secara damai tanpa terus menerus dihantui ketakutan dan kekerasan.

Sebagaimana pada umumnya sekolah formal, Hand in Hand berada di bawah Kementerian Pendidikan Israel yang terbuka bagi semua anak warga negara Israel, apapun agama mereka. Termasuk di dalamnya anak-anak Arab-Palestina (Muslim dan Kristen) yang tinggal di dalam batasan negara Israel dan menjadi warga negara Israel. Kurikulumnya didasarkan pada nilai-nilai yang mencerminkan kedua budaya dan bahasa, berorientasi pada multikulturalisme dan kewarganegaraan bersama dan setara.

Oleh karena itu, model pendidikan bilingual —Ibrani dan Arab—menjadi salah satu distingsi dari sekolah ini. Di sekolah ini, bahasa Ibrani dan bahasa Arab memiliki posisi setara sebagai bahasa nasional.

Salah seorang anak Prof. Ronit disekolahkan di Hand in Hand ini. Bahkan sepulang makan siang tadi, Prof. Ronit cerita tentang anak bungsunya Adam yang tidak hanya fasih berbicara bahasa Arab keseharian saja, tetapi juga memahami literatur-literatur dalam bahasa Arab.

Hand in Hand tidak hanya memiliki inisiatif melalui sekolah inklusif saja, tetapi juga mereka memperjuangkannya melalui penjaringan komunitas orang tua, staf, dan warga negara lainnya yang sepakat untuk aktif berdialog dan bersolidaritas hidup bersama.

Upaya perdamaian lainnya yang dilakukan Hand in Hand adalah melakukan advokasi kebijakan melalui Parlemen untuk terwujudnya sekolah inklusif dengan model pendidikan bilingual di seluruh Jerusalem.

Mereka percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk melakukan sebuah perubahan.

Di akhir pembicaraan, Prof Ronit berharap bahwa seluruh masyarakat Jerusalem bisa hidup bersama dalam damai, meski berbeda agama.[]

Ini Ceritaku Belajar Toleransi dari Camping Sangalikur

Oleh: Dalpa Waliatul Maula (Mahasantriwa SUPI ISIF Cirebon)

ISIF CIREBON – Saya adalah seorang mahasantriwa SUPI Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) semester satu. Saya bersyukur bisa mengikuti kegiatan Camping Sangalikur, yaitu camping lintas iman. Camping ini diinisiasi oleh paroki dari berbagai gereja se-wilayah III Cirebon.

Melalui kegiatan camping lintas iman ini, saya belajar tentang bagaimana pentingnya saling mengenal, menghargai dan juga menghormati setiap keyakinan orang lain. Di sini saya bertemu dengan sekitar 70 teman dari berbagai latar belakang yang berbeda, ada yang Kristen, Hindu, Katolik dan ada juga teman-teman dari penghayat Sunda Wiwitan.

Sejak kecil saya sering mendengar bahwa sebagai muslimah yang baik, kita tidak boleh bergaul atau berteman dengan orang yang berbeda agama. Sebab, khawatir akan mendorong kita untuk pindah agama. Sebenarnya narasi-narasi ini juga sering aku dengar sih di media sosial, terutama di setiap hari Natal tiba.

Tapi, sejak masuk dan belajar di ISIF, aku diajarkan untuk berani membuka diri dan tidak takut untuk bergaul dengan orang yang berbeda denganku, baik beda agama, suku, ras ataupun keyakinan yang lain. Maka dari itu, aku tertarik ketika pertama kali diajak untuk ikut Camping Sangalikur. Aku berpikir bahwa dengan ikut belajar di kegiatan ini akan menambah wawasanku tentang makna toleransi.

Sebelum berangkat ke lokasi camping, saya dan teman-teman peserta yang lain berkumpul di Gereja Bunda Maria Cirebon. Itu adalah pengalaman pertamaku masuk ke rumah ibadah teman-teman Katolik. Awalnya ada rasa takut dan khawatir, namun aku melihat bahwa orang-orang di sana sangat ramah dan sama sekali tidak menakutkan seperti yang sering aku dengar. Dan dengan cepat aku pun mendapatkan teman yaitu Kak Dwi. Dia adalah salah satu remaja yang aktif di Gereja Bunda Maria.

Melalui obrolan ringan bersama Kak Dwi, aku jadi tau bahwa bahwa yang diajarkan di agama Kristen juga tidak jauh berbeda dengan Islam, yaitu selalu mendorong umatnya untuk selalu berbuat baik, menebar manfaat dan saling meberikan kasih sayang kepada seluruh manusia.

Selain itu, di Kristen juga ternyata ada budaya ziarahnya lho. Ah ternyata sikap berprasangka buruk itu emang timbul dari kurangnya pengetahuan kita tentang relaitas yang ada di lingkungan kita.

Setelah menunggu peserta kupul semua, akhirnya kami berangkat ke lokasi camping. Selama perjalanan dari Cirebon ke lokasi, aku senang sekali mendapatkan banyak teman yang asik dan santai. Sehingga tanpa waktu yang lamu, aku pun mendapatkan banyak teman.

Sebelum kegiatan di mulai, kami secara bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aku pikir selain untuk menujukan rasa nasionalisme kita sebagai warga Indonesia, lagu ini juga mengingatkan kita bahwa walaupun kita berbeda, tapi kita harus tetap bersatu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Buya Husein Muhammad bahwa perbedaan itu adalah anugerah Tuhan yang Maha Esa.

Setelah itu, kami juga diajak untuk bermain satu game yang menurutku game ini membuat kami tambah saling mengenal satu sama lain. Sebab, dalam game tersebut kami saling berkenalan sambil menyampaikan kesan dan harapan setelah mengikuti Camping Sangalikur.

Selain acara yang dikemas secara asik, juga materi yang disampaikan oleh para narasumber juga keren-keren. Misalnya materi mengenai moderasi beragama yang disampaikan oleh Pak Marzuki Wahid. Beliau menyampaikan bahwa Tuhan itu memang satu, tapi cara penyebutan dan jalan menuju Tuhan itu banyak.

Dengan begitu, kita tidak perlu heboh dengan keragaman tersebut, justru harus kita rayakan dengan cara saling menghargai dan menghormati pilihan orang lain.

Selain itu, Pak Marzuki juga menambahkan bahwa mengutamakan kemanusiaan di atas segala sesuatu itu sangat penting, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Gus Dur. Gus Dur tidak pernah memandang orang yang berbeda itu rendah, sebab sejatinya di hadapan Tuhan semua manusia itu sama. Yang membedakankan ialah tingkat ketakwaannya, bukan agama ataupun latar belakang sosial lainnya.

Lalu yang terakhir, selain bersyukur bisa mengikuti camping lintas iman, aku juga berharap lebih banyak anak muda yang bisa ikut terlibat dalam ruang-ruang dialog lintas iman. Karena dengan ruang dialog seperti ini, kita bisa saling mengenal satu sama lain, saling berbagi cerita, pengalaman dan membangun relasi pertemanan yang solid. Karena seperti pepatah yang sering kita dengar bahwa “Tak kenal, maka tak sayang. Kalau udah kenal bisa lah kita jadi teman”. []