Harmoni dalam Adab Bertetangga
Oleh: Ahmad Kamali Hairo
ISIF CIREBON – Adab bertetangga merupakan sebuah pemahaman tentang jalinan hubungan dengan tetangga berdasarkan harmonisasi akhlaqiyah (akhlak mulia). Adab bertetangga harus diaplikasikan bukan dalam bentuk teroritis, tetapi dalam bentuk praktik, yakni mengamalkan adab bertetangga secara humanis (kemanusiaan), sehingga akan menumbuhkan jalinan cinta kasih yang sejati antara sesama manusia, baik yang seagama maupun yang beda agama.
Pengamalan adab bertetangga secara humanis merupakan pemahaman dari ajaran Islam yang rahmatalil’alamin secara universal. Oleh karena itu, adab bertetangga merupakan bagian dari ajaran Islam yang harus dibawakan secara humanisasi, hal ini untuk menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mengajarakan radikalisme dan intoleran, melainkan Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam.
Salah satu titik harmoni dari “Adab Bertetangga” ialah yang tersirat dalam sebuah syair berikut ini:
/1/Uluk salam kanggo salaman,
Uluk senyum kanggo tawadhu’an
/2/Ulur tangan kanggo dermawan,
Ngirim berkat kanggo duluran.
Harmoni yang dipancarkan dari “Adab Bertetangga” adalah sebuah gambaran perjalanan hidup manusia untuk selalu menebarkan benih-benih salam (kedamaian atau keselamatan) pada alam semesta.
Uluk salam adalah simbol ke-tasliman, ketundukan kita sebagai seorang ‘abid kepada Tuhan yang telah memberikan amanah hukum-hukum Islam (Islam, Iman, Ihsan) untuk diaplikasikan dengan penuh kemurnian hati sebagai bekal mendapatkan kebahagian di akhirat nanti.
Uluk senyum adalah simbol ke-tawadhu’an, kerendahan hati kita sebagai manusia yang penuh dengan lumpur kesombongan di saat kita berada di atas angin duniawi. Harmoni ini, akan mampu menyirnakan kesombongan yang bersemayam di dalam hati kita, di saat merasa memiliki dunia dan seisinya. Sungguh akan indah dan bening, jika tradisi uluk salam ini dilestarikan dalam hamparan sosial yang luas ini.
Ulur tangan adalah simbol ke-berpihakan, rasa perhatian kita terhadap sesama yang membutuhkan atas apa yang kita miliki. Harmoni ini, merupakan bagian dari esensi teologi pembebasan dalam rangka membebaskan diri kita dari pengaruh jahat sifat kikir, tamak, rakus, dan menentang arus kapitalisme yang menghegemoni dalam menguasai status sosial antara si miskin dan si kaya.
Dengan ini, tidak ada pertentangan strata sosial antar umat manusia, yang berujung pada eksploitasi hak-hak manusia dalam lingakaran teologi eksklusif.
Ngirim berkat adalah simbol ke-kerabatan, rasa jalinan kasih dengan mewujudkan persaudaran yang hakiki antar sesama. Harmoni ini dapat diaplikasikan melalui media saling berbagi atas apa yang kita miliki. Karena dengan ini, ketegangan budaya bisa di atasi secara bil hal dan dapat menumbuhka rasa saling memiliki tanpa kepribadian superioritas. []