Menyikapi Mbah Benu: Fenomena Keagamaan yang Berbeda
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
ISIF CIREBON – Belum lama ini, Jemaah Masjid Aolia Gunungkidul, Yogyakarta merayakan hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1445 pada Jumat 5 April 2024 atau lima hari lebih awal dari lebaran umat Islam lainnya yang diprediksi jatuh pada 10 April 2024.
Hari Raya Idul Fitri yang dilaksanakan Jemaah Masjid Aolia bukan tanpa alasan. Seperti informasi yang ramai beredar di media sosial, sosok pemimpin Jemaah Masjid Aolia, Raden Ibnu Hajar Pranolo atau yang biasa disapa Mbah Benu memberikan jawaban bahwa penetapan hari Raya Idul Fitri 1 Syawal pada 5 April 2024 itu karena dirinya telepon langsung Allah Swt dan Allah Swt ngendika (berfirman), Idul Fitri jatuh pada Jumat 5 April 2024.
Dari jawaban inilah, membuat jagat maya cukup ramai bergejolak. Tidak sedikit warganet yang mencaci maki, nyinyir, menghujat, bahkan menuduhnya sebagai pimpinan kelompok yang sesat.
Dengan melihat banyaknya hujatan dan caci maki kepada Mbah Benu, lalu bagaimana sikap kita?
Pertama-tama perlu diketahui bahwa dalam konteks keislaman, ada banyak pemahaman, penafsiran, dan juga madzhab. Mulai dari yang tekstual hingga yang liberal, semuanya ada dalam pemahaman keislaman kita.
Bagaimana sikap kita? Tentu kita harus berpegang pada apa yang kita yakini benar. Saya, misalnya, sebagai muqallid Ahlissunnah wal Jama’ah an-Nahdliyyah meyakini bahwa awal bulan Syawal ditentukan dengan Ru’yatil Hilal (melihat bulan langsung), dengan dalil:
صوموا لرأيته وأفطروا لرأيته
Penetapannya dilakukan oleh pemerintah (qodli) untuk menghilangkan perbedaan yang ada, sesuai dengan kaidah:
حكم القاضي إلزام ويرفع الخلاف
Bagi saya, keputusan awal Syawal menunggu hasil sidang itsbat dari Kementerian Agama RI.
Bagaimana menyikapi mereka yang berbeda? Maka berlaku kaidah:
الاجتهاد لاينقض بالاجتهاد
Jika itu hasil ijtihad, maka biarkan hasil ijtihad itu bersanding. Karena suatu ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad yang lain, biarkan mereka berjalan sesuai dengan keyakinan masing-masing.
لنا منهجنا وأعمالنا ولكم منهجكم واعمالكم
Bagaimana dengan Mbah Benu yang telepon Allah Swt secara langsung?
Kita jangan memahami telepon di sini adalah telepon menggunakan Handphone (HP) dan alat komunikasi lain. Karena Allah Swt jelas bukan makhluk, ليس كمثله شيئ، maka sudah pasti tidak bisa ditelepon dengan HP atau sejenisnya. Jika kita memahami ditelepon menggunakan HP, lalu menyalahkan Mbah Benu, maka sesungguhnya nalar kita juga salah. Sudah pasti Allah Swt tidak bisa ditelepon menggunakan HP.
Dengan demikian, bahasa ditelepon yang digunakan Mbah Benu adalah majazan, bukan haqiqatan. Mbah Benu mungkin melakukan kontak langsung dengan Allah Swt dengan lisan sebagaimana kita berdoa, berdzikir, atau dengan dengan hati sebagaimana kita istikharah dan berdzikir. Dengan ikhtiar yang dia lakukan, lalu diperolehlah jawaban itu.
Jika pemahaman “telepon” adalah seperti ini, bukankah tidak ada beda dengan yang selama kita lakukan dalam berdoa, berdzikir, istikharah dan lain-lain, lalu timbul keyakinan yang kita anggap benar sebagai suara atau jawaban dari Tuhan?
Perbedaan cara penentuan awal Syawal yang dilakukan oleh Mbah Benu, kita uji saja dalam metodologi ilmiah keislaman? Adakah metodologi ini dalam sejarah dan literatur keislaman kita? Jika ada, this is a fine!. Jika tidak ada, maka apakah ini varian baru dari pemahaman keislaman? Mari kita uji, kita tabayyun dulu, lalu kita diskusikan agar memperoleh informasi, data, pengetahuan yang sebenarnya dari Mbah Benu dan para pengikutnya. Bukankah ilmu itu dinamis dan berkembang?
Saya kira sikap ini yang perlu kita kembangkan, bukan mencaci, mencela, dan menyesatkan. Terlalu prematur dan bukan sikap bijak jika kita memosisikan Mbah Benu dengan berbagai posisi tersebut. Toh Mbah Benu dan para pengikutnya adalah ahlil qiblah, ahli shaum, muzakki, dan semua ajaran keislaman dilakukannya dengan taat.
Kalaupun nanti setelah tabayyun dan diskusi, misalnya, ditemukan tidak ada landasan manhajiyyah dalam keislaman kita, maka adalah kewajiban kita untuk mendakwahkan Bil Hikmah Wal Mau’idhatil Hasanah dengan mereka. Lagi-lagi, bukan dengan cara mencela, mencaci, dan menyesatkan mereka.
Jika sudah didakwahkan Bil Hikmah Wal Mau’idhatil Hasanah masih belum berubah dan tidak mau berubah, ya sudah kita kembalikan kepada Allah, sebagaimana Nabi Saw mendoakan kaumnya:
اللهم أهد قومي فانهم لايعلمون
Dalam konteks kebangsaan, menurut saya Mbah Benu tidak melakukan kesalahan secara hukum. Mbah Benu dan pengikutnya hanya melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya saja. Mereka tidak memaksakan keyakinannya kepada pihak lain. Bahwa ijtihadnya benar atau salah, itu bukan urusan negara dan masyarakat. Itu adalah urusan Tuhan. Biarkan mereka mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan nanti.
Kita tidak boleh mencela, memaki, mengolok-olok, dan merendahkan semua orang yang berbeda dengan kita. Mereka adalah manusia. Mereka adalah warga negara Indonesia. Mereka adalah umat Islam juga. Tidak ada hak kita untuk merendahkan derajat dan martabat mereka. []