(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Kesaksian Petugas Haji (1) : Menggotong dari Lantai 10

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Betul kata banyak orang, haji tahun 2023 berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Haji pasca Covid-19 ini betul-betul mbludak. Tidak hanya jamaah haji Indonesia, tetapi juga jamaah haji negara lain.

Indonesia mengirimkan 229 ribu orang jamaah haji, 100 persen kuota plus 8000 jamaah haji tambahan. Data Siskohat menyebutkan satu dari tiga jamaah haji Indonesia adalah Lansia. Data BPS 2020 menyebutkan satu dari empat Lansia mengalami sakit dengan berbagai jenisnya.

Selain itu, haji tahun 2023 jatuh pada musim panas, mencapai 46 derajat Celcius. Bagi orang Indonesia yang biasa hidup dalam suhu 26-27 derajat Celcius, ini adalah tantangan sangat berat.

Mengelola manusia 229 ribu yang 30% nya adalah Lansia di tengah jutaan manusia dalam suhu 46 derajat Celcius yang sebagian besar akvitasnya adalah jalan kaki kiloan meter tentu adalah pekerjaan tidak mudah.

Sebagai petugas haji yang diamanatkan oleh Pemerintah pada tahun 2023, kami memiliki pengalaman yang unik dan menarik yang mungkin jarang ditemui oleh penyelenggaraan haji sebelumnya.

Saya yakin semua petugas jamaah haji memiliki pengalaman unik masing-masing. Apabila dituliskan semuanya tentu ruang ini tidak akan cukup menampung. Tetapi beberapa pengalaman penting ditulis sebagai kesaksian sejarah.

Tepatnya pada 14 Juni 2023, di suatu hotel wilayah Sektor 3 Madinah, ada agenda pendorongan jamaah haji dari Madinah menuju ke Mekah. Seperti biasa, semua petugas haji sektor 3 berangkat menuju hotel itu untuk membantu, melayani, dan memastikan semua jamaah haji –terutama Lansia– terangkut secara manusiawi dalam bus beserta barang-barangnya.

Nah, pada hari itu listrik di hotel itu konslet. Sehingga lift alat angkut naik turun jamaah haji di hotel itu tidak berfungsi. Padahal hotel itu memiliki 10 lantai. Kebetulan Kloter jamaah haji yang hendak didorong berangkat ke Mekah ini singgah di lantai 10, 9, dan 8.

Dari sisi usia, sepertiga jamaah haji di Kloter ini adalah Lansia. Dari sepertiga itu, ada sekitar 15-an orang Lansia yang berkebutuhan khusus, baik karena tidak bisa jalan sehingga bergantung pada kursi roda, tidak bisa melihat, berpenyakit jantung yang melekat padanya alat deteksi jantung, dan lain-lain.

Apa yang terjadi dan apa yang kami lakukan menghadapi situasi seperti ini?

Oleh karena lift tidak berfungsi dan tidak ada alat turun lain, maka kami menggunakan tangga darurat sebagai jalan untuk menurunkan koper kecil dan 314 jamaah haji. Kebetulan koper besar sudah diturunkan sehari sebelum lift bermasalah.

Bisa kebayang energi yang harus dikeluarkan oleh jamaah dan petugas haji dalam menurunkan koper kecil dan menuntun, memapa, dan menggotong jamaah haji dari lantai 10, 9, dan 8 hingga lantai lobby di hotel itu.

Ini bukan 1 atau 50 orang, tapi 314 orang yang jamaah laki-lakinya sudah berpakaian ihram, karena untuk niat ihram di miqot Abyar Ali atau Dzul Hulaifah.

Kalau hanya menuntun dan memapa jamaah Lansia, meskipun ngos-ngosan karena berkali-kali naik turun tangga darurat, ini masih terhitung ringan.

Ini ada 3 jamaah Lansia yang harus digotong dengan kursi rodanya dari lantai 10 hingga ke lantai lobby melalui tangga darurat. Empat orang gak cukup, kami harus berestafet menggotong Lansia berkursi roda ini. Tidak kuat hanya petugas, kami juga dibantu oleh ‘ummal untuk menggotong dari lantai 10 ini.

Inilah sebagian realitas yang kami hadapi dan lakukan. Ini tentu membutuhkan kesabaran, keikhlasan, dan ketekunan yang tak bertepi. Hanya doa dan maunah dari Allah kami harap agar kami tetap sehat, kuat, semangat, dan ikhlas.

Melayani jamaah haji adalah kemuliaan bagi kami. []

Pembelajaran dari Haji (1)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

PLURALISME MENJADI KESADARAN

ISIF CIREBON – Tanpa kesadaran pluralisme, ibadah haji tidak akan terselenggara dengan baik. Tanpa kesadaran pluralisme, setiap jamaah haji akan sibuk menyalahkan, membid’ahkan, dan menyesatkan amalan jamaah haji yang lain. Bukan ibadah yang dilaksanakan, tetapi debat, tuduh-menuduh, dan bisa jadi saling membunuh akibat perbedaan yang dipraktikkan.

Kita tahu, dalam pelaksanaan ibadah haji di Mekah kumpul jutaan umat Islam dari berbagai negara yang memiliki paham, aliran, madzhab, dan anutan tokoh yang berbeda-beda.

Dalam satu barisan shalat, ada yang takbiratul ihram dengan mengangkat tangan, ada yang tidak. Setelah takbiratul ihram, ada yang tangannya sedakep, ada yang tidak. Ketika baca surat al-Fatihah, ada yang diawali dengan bismillah, ada yang langsung alhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Pada jamaah haji perempuan, ada yang sholat memakai mukena berwarna-warni, ada yang pake baju biasa tampak tangannya, tampak rambutnya, dan ada yang mengumpul sesama jamaah perempuan, ada yang bersanding dengan jamaah laki-laki, dan seterusnya.

Walhasil, praktik ibadah selama pelaksanaan ibadah haji beragam, berbeda, beraneka, dan berwarna. Ntah karena pahamnya, alirannya, madzhabnya, atau karena ketidaktahuannya.

Dalam pelaksanaan ibadah haji, kumpul semua pengikut aliran dan madzhab dalam Islam: Syiah, Sunni, Wahabi, Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Ja’fariyah, Ibadliyyah, Zaidiyyah, Dhohiriyyah, dan yang tidak bermadzhab.

Kalau mereka adalah ekstremis agama yang hanya memutlakan pahamnya, lalu memaksakan pahamnya kepada orang, maka tentu ibadah haji menjadi ajang debat, baku hantam, saling menuduh, dan bisa jadi saling membunuh karena menghalalkan darah orang yang berbeda paham dengannya.

Akan tetapi, nyatanya tidak terjadi. Tidak ada perdebatan, tidak ada baku hantam, dan apalagi juga tidak ada pembunuhan karena perbedaan ini.

Mereka semuanya melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya, dan menghargai keyakinan dan praktik keagamaan orang lain. Meski berbeda, mereka diam dan menghargai.

Perbedaan bukan hanya dalam keyakinan dan praktik ibadah, tetapi juga dalam ekspresi keagamaan.

Sungguh menjadi potret kehidupan keagamaan yang menarik dan so sweet. Setiap orang meyakini keyakinannya dan mempraktikkannya secara sungguh-sungguh tanpa menyalahkan keyakinan orang lain.

Maha benar Allah dalam firman-Nya:

قُلۡ اَ تُحَآجُّوۡنَـنَا فِى اللّٰهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّکُمۡۚ وَلَنَآ اَعۡمَالُـنَا وَلَـكُمۡ اَعۡمَالُكُمۡۚ وَنَحۡنُ لَهٗ مُخۡلِصُوۡنَۙ‏ ١٣٩

“Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu hendak berdebat dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu, dan hanya kepada-Nya kami dengan tulus mengabdikan diri.”

Menurut saya, inilah toleransi. Inilah Islam. Beragam. Berbeda. Beraneka. Berwarna. Tetapi saling menghargai dan menghormati.

Diakui atau tidak, mereka sesungguhnya telah mempraktikkan kesadaran pluralisme dalam praktik keberagamaan. []

Melayani dengan Kasih Sayang (6)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Episode berikutnya adalah menjelang dan masa pelaksanaan haji. Setelah seluruh jamaah haji tidak ada yang singgah di Madinah, karena harus melaksanakan ibadah haji di Mekah, maka kami pun bergeser ke Mekah. Mekah tentu beda dengan Madinah. Tantangan baru pun dimulai.

Selama di Mekah, posisi petugas Daker Madinah adalah supporting system atas kerja-kerja Daker Mekah.

Sebelum masuk masa Armina/Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), saya ditugaskan di Sektor Khusus Masjidil Haram. Persisnya di depan Zamzam Tower atau WC 3.

Selama beberapa hari, kami bertugas mengawasi, melayani, dan membantu jamaah haji yang tersesat jalan, terpisah dari rombongan, dan kelelahan setelah muter-muter tidak menemukan jalan pulang.

Tugas ini sama persis dengan tugas saya selama dua hari pertama kedatanganku di Mekah. Tugas ini sudah dijelaskan panjang lebar pada bagian pertama dari serial tulisan ini.

*

Masuklah masa haji. Hari tarwiyah 8 Dzul Hijjah dan hari Arafah 9 Dzul Hijjah adalah saat jamaah haji memulai ibadah, memakai pakaian ihram dan niat haji dari miqat.

Menghadapi Armina/Armuzna ini, tugas utama para petugas haji di kapling-kapling. Petugas haji Daker Bandara ditugaskan di Arafah. Petugas haji Daker Mekah ditugaskan di Muzdalifah. Sementara kami dari Daker Madinah ditugaskan di Mina. Meski begitu, dalam pelaksanaannya kita saling membantu dan memperkuat.

Di sini, saya tidak akan cerita penugasan di Arafah atau Muzdalifah, karena itu bukan tugas utama kami. Saya akan bercerita penugasan di Mina yang menjadi core duty kami.

*

Untuk jamaah haji Indonesia pada umumnya proses ibadah haji dimulai dari Arafah pada tanggal 9 Dzul Hijjah. Jamaah haji sudah tiba di Arafah sejak malam 9 Dzul Hijjah, dan berada di Arafah sampai habis maghrib. Mereka wukuf di Arafah sejak dhuhur hingga malam hari.

Agenda utama wukuf di Arafah adalah mendengarkan khutbah wukuf, sholat dhuhur dan ashar di qashar jama’ taqdim, lalu berdoa dan taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah).

Habis maghrib, jamaah haji bergerak ke Muzdalifah diangkut dengan bus yang telah disediakan Masyariq. Mabit di Muzdalifah hingga tengah malam, jam 00 lewat.

Setelah mabit di Muzdalifah, jamaah bergerak ke Mina diangkut dengan bus untuk lontar jamrah aqobah pada tanggal 10 Dzul Hijjah, lalu mabit di Mina hingga tgl 12 Dzul Hijjah bagi yang memilih nafar awwal, dan 13 Dzul Hijjah bagi yang memutuskan nafar tsani.

Kegiatan utama di Mina selama 3 atau 4 hari adalah mabit (bermalam) dan lontar jamrah ula/shughra, wustha, dan aqobah/kubra setiap hari pada tanggal 11 dan 12 Dzul Hijjah bagi nafar awwal, dan hingga 13 Dzul Hijjah bagi nafar tsani.

Nah, kami akan bercerita bagaimana pelayanan yang kami lakukan selama di Mina, sejak jamaah haji tiba hingga meninggalkan Mina menuju Mekah.

*

Sejak jam 00 dini hari tanggal 10 Dzul Hijjah, kami stand by di Maktab tempat tugas kami. Kami cek dan kontrol persiapan Maktab untuk melayani mabit jamaah haji. Tidak hanya tenda dan kasur bantalnya, tetapi juga AC, dapur, kamar mandi, mushalla, klinik, minum, dan fasilitas lainnya.

Semuanya dicek berdasarkan standar kelayakan dan ketercukupan jumlah jamaah haji yang akan masuk ke Maktab tersebut.

Hasilnya ternyata beda-beda. Ada maktab yang siap banget, lengkap dengan informasi yang memadai tentang peta Maktab, struktur, jadwal makan, jadwal lontar jamrah, dll. Tapi juga terdapat Maktab yang belum siap, baru diberesi malam itu, bahkan tidak ada info yang memadai terkait Maktab tersebut dan info yang dibutuhkan jamaah haji.

Di sinilah fungsi kami hadir untuk memastikan kelayakan dan ketercukupan semua fasilitas yang dibutuhkan. Namun dalam praktiknya tidak mudah, banyak hal yang menjadi kendala. Akhirnya, kami lakukan semaksimal yang bisa kami lakukan.

Benar terjadi, hampir semua tenda tidak memadai untuk menampung seluruh jamaah haji. Meskipun jumlah kasur yang disediakan sesuai dengan jumlah jamaah haji, tetapi luas tenda tidak memadai.

Mitigasinya, tenda untuk mushalla, tenda untuk ‘ummal, dan tenda yang kosong diubah fungsi untuk penginapan jamaah haji.

Ini pun sebagian maktab masih belum memadai, karena memang jumlah jamaah haji tahun ini kuota 100% plus 8000 jamaah tambahan. Jumlah jamaah haji bertambah, sementara tempat di Mina tidak bertambah dan tidak mungkin bertambah kecuali meninggi (ntah kapan akan ada bangunan tingkat di Mina).

*

Kasus-kasus jamaah Lansia mulai muncul ketika mereka melontar jamrah aqobah pada 10 Dzul Hijjah, atau jamrah ula, wustha, dan aqobah pada 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah. Pada umumnya terjadi kelelahan karena jarak tempuh dari Maktab ke Jamarat yang sangat jauh, rerata 8 km pulang pergi, bahkan bisa lebih tergantung posisi geografis maktabnya.

Selain kasus-kasus kelelahan, kasus lain yang banyak ditemui adalah jamaah haji yang tersesat karena ketidaktahuan posisi maktabnya.

Banyak sekali jamaah haji tersesat jalan, baik di dalam maktabnya sendiri mencari tenda kloternya atau di jalan-jalan mencari nomor maktabnya. Ini terjadi tidak hanya pada jamaah Lansia, tetapi juga pada jamaah muda. Ketersesatan jamaah Lansia memang mendominasi, dan akibatnya lebih rentan ketimbang jamaah non Lansia.

Ada banyak sebab ketersesatan jalan ini terjadi. Pertama, dia terpisah dari rombongan setelah lontar jamrah atau keluar bersama. Tidak punya peta atau tidak paham baca peta, tidak bawa atau tidak punya HP atau tidak bisa mengoperasikan HP, akhirnya tersesat.

Kedua, keluar dari toilet atau kamar mandi. Dia bingung, lalu jalan kaki mengikuti feelingnya, akhirnya tersesat jauh.

Ketiga, adanya kesamaan atau kemiripan pada bentuk tenda, pintu gerbang maktab, dan bangunan toilet menyebabkan jamaah sulit mengenali maktab dan tendanya.

Keempat, jamaah haji tidak diedukasi dan tidak dilengkapi peta geografis maktab-maktab Indonesia dan tenda-tenda dalam satu maktab.

Kelima, meskipun hari ini sudah ada Google Map dan GPS, tetapi banyak jamaah haji tidak bisa mengoperasikan atau tidak memanfaatkan fasilitas digital ini. Bahkan sekadar telp kepada temannya pun tidak dilakukan. Ini terjadi, karena beberapa jamaah haji selain tidak memiliki nomor HP Ketua Kloter, Ketua Rombongan, atau Ketua Regu, tidak bawa atau tidak punya HP, juga tidak mengaktifkan jaringan internet lokal sini atau roaming internasional.

Kerentanan sesat jalan diperparah dengan suhu cuaca di Mina yang saat itu bisa mencapai 46% Celcius. Kondisi ini menyebabkan jamaah haji yang tersesat semakin rentan, dan menyulitkan petugas untuk mengantarkan tanpa ada alat transfortasi yang memadai.

Nah, menghadapi kasus-kasus ini mitigasi yang kami lakukan adalah: pertama, jika jamaah yang tersesat adalah Lansia dan jamaah berkebutuhan khusus, maka kami antarkan langsung hingga ke maktab atau tendanya, baik dengan jalan kaki (di bawah terik matahari) maupun alat transportasi (meskipun jarang dijumpai).

Kedua, jika mereka tampak sehat dan kuat, kami cukup tunjukkan arah dan berikan peta digital untuk panduan jalannya.

Oleh karena di setiap pojok krusial ada petugas yang stand by, tidak jarang –meskipun tidak selalu– kami menggunakan sistem estafet untuk mengantarkan jamaah.

Karena sangking banyaknya jamaah yang tersesat jalan, kami keluar dikit dari tenda saja hanya sekadar ke kamar mandi atau jalan dikit, pasti akan me(di)temui jamaah tersesat dan kami harus melayaninya. Begitu tiap hari selama 4 hari di Mina.

*

Ada cerita menarik saat ada jamaah Lansia yang karena kelelahan tergeletak di jalan raya ke arah pulang dari Jamarat.

Persisnya, saya dan Pak Ihsan –petugas pembimbing ibadah– dalam perjalanan pulang habis lontar jamrah aqobah tanggal 10 Dzul Hijjah menjelang maghrib. Tiba-tiba di tengah jalan terdapat seorang kakek jamaah haji dari embarkasi Surabaya (berusia sekitar 85 tahun) yang tergeletak tiduran di bahu tengah jalan raya.

Kami kaget, terhentak, dan terhenti. Kami dekati dan tanya ke orang sekitar yang ada di situ. Ternyata dia kelelahan, tidak kuat jalan, pusing, lemas, dan akhirnya menidurkan diri di bahu tengah jalan pulang dari Jamarat ke penginapan.

Selain karena faktor Lansia, ini terjadi karena kelelahan yang sangat atas perjalanan maraton dari Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Sangat mungkin istirahat tidak cukup, bahkan tidak sempat istirahat yang berkualitas sama sekali. Untungnya, saat itu matahari sudah hampir terbenam, sehingga cuaca tidak begitu panas.

Akhirnya, kami telp berbagai perangkat petugas haji yang terkait. Hasilnya, ambulance tidak bisa melintas, kursi roda sulit, sewa kursi roda tidak mau hingga ke Maktab 40.

Setelah kakek ini minum dan makan roti yang diberikan jamaah yang lewat, dan dengan sisa tenaga yang ada, saya dan Pak Ihsan akhirnya memutuskan untuk memapa kakek ini berpegangan bahu saya dan bahu Pak Ihsan.

Meter per-meter kita tapaki. Dalam setiap 300 m, istirahat untuk mengambil nafas dan minum. Begitu seterusnya hingga sampai ke Maktab 40, yang kurang lebih berjarak 4 km dari tempat tidur sang kakek.

Menariknya, selama perjalanan memapa kakek ini, kami juga ditanya puluhan jamaah yang tersesat jalan. Sebagian kita antar jika satu arah, sebagian lagi kita beri petunjuk jalan saja. Sehingga dalam waktu 3 jam, kami baru bisa menyerahkan sang kakek ini kepada rombongan di Kloternya. []

Melayani dengak Kasih Sayang (5)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Deskripsi sebelumnya yang sangat praktis dan detil menjelaskan bahwa ibadah ternyata tidak bisa berdiri sendiri, khususnya ibadah haji. Hubungan kita dengan Tuhan bukan semata urusan personal, tetapi juga menyangkut aspek sosial kemanusiaan, ekonomi, dan politik.

Sebagaimana diketahui, ibadah haji dalam kenyataannya tidak hanya mengandalkan kemampuan fisik, spiritual, mental, dan ekonomi, tetapi juga menyangkut hubungan antarnegara. Dalam konteks ini, sudah pasti ibadah haji membutuhkan intervensi negara. Harus ada kebijakan politik yang memayunginya. Dibutuhkan birokrasi yang menggerakkannya, apalagi ibadah ini dijalankan secara kolektif nasional dan internasional.

Oleh karena dilakukan bersama jutaan jamaah haji sedunia, yang semakin tahun semakin bertambah, maka infrastruktur pun disesuaikan. Perubahan-perubahan, inovasi, dan penambahan tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi kebutuhan. Ini akan berpengaruh pada substansi ibadah yang disyariatkan.

Tempat thawaf (mathaf), misalnya, sekarang tidak hanya di dekat Ka’bah yang selama thawaf bisa melihatnya, tetapi sekarang sudah berada di atas Ka’bah, lantai 2 dan lantai 3, di luar lingkaran Ka’bah yang kadang selama thawaf tidak pernah melihatnya.

Begitu juga tempat sa’i (mas’a), sekarang sudah dikembangkan di lantai 2 dan lantai 3, yang ketika menuju bukit shofa dan marwa sudah tidak lagi menginjak bukitnya. Hanya memutar di atas bukit shafa dan marwa.

Para jamaah haji pun, ketika melaksanakan thawaf dan sa’i tidak hanya jalan kaki yang membutuhkan energi tersendiri mengelilingi Ka’bah 7 kali putaran, dan 7 kali lari-lari kecil shafa-marwa. Sekarang banyak jamaah haji —yang berkebutuhan khusus– menggunakan kursi roda yang didorong oleh pendorong profesional, dan bahkan menggunakan scooter yang menggunakan mesin.

Hal yang sama juga di Jamarat. Tempat lempar jumrah (ula, wustha, dan ‘aqabah) sekarang sudah berlantai 6. Luar biasa perubahan dan inovasi yang dilakukan karena kebutuhan jamaah haji yang begitu besar.

Ini dari sisi wasilah penyelenggaraannya. Tentu berlaku kaidah, li al-wasa’il hukm al-maqashid.

Bagi saya, sungguh sangat menarik menjadi petugas haji pada tahun yang penuh dengan tantangan ini. Tidak saja soal ibadah dan politik, tetapi juga pergulatan kemanusiaan. Bukan saja menjalin hubungan kita dengan Allah, tetapi juga menselaraskan hubungan kita sesama manusia.

Lansia tentu saja menjadi faktor determinasi distingtif haji tahun ini. Bukan hanya petugas, tetapi juga sesama jamaah haji diuji sensitifitas kemanusiaannya dalam menjalankan ibadah.

Bagaimana hukum praktik ibadah (haji) yang mengabaikan kemanusiaan? Ini pertanyaan penting.

Banyak orang demi mementingkan limpahan pahala atau kesahan ibadah, rela mengesampingkan aspek kemanusiaan. Misalnya, demi sholat berjamaah di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, seorang Lansia ditinggal sendirian di kamar —yang berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi.

Banyak orang berpikir karena ketetapan fiqhnya bahwa kesahan ibadah (haji) adalah terpenuhinya syarat dan rukun. Kemanusiaan adalah hal lain, tidak terkait dengan ibadah. Akibatnya, demi peroleh kesahan ibadah Lansia yang memang membutuhkan sentuhan kemanusiaan orang lain dalam banyak kasus terabaikan, bahkan dalam jurang bahaya.

Ini tampaknya membutuhkan formulasi fiqh baru tentang kesahan dan kesempurnaan ibadah dalam pertimbangan kemanusiaan dan kemaslahatan, khususnya Lansia yang memang membutuhkan orang lain. []

Tantangan Penyelenggaraan Haji Tahun 2023

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Ibadah haji adalah ritualitas tahunan yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang memiliki kemampuan (istitha’ah). Bagi umat Islam Indonesia, haji adalah hal yang biasa. Setiap tahun, umat Islam Indonesia selalu menyumbangkan jumlah jemaah haji terbanyak di Arab Saudi.

Sebetulnya karena saking rutinnya, sistem penyelenggaraan haji telah berjalan secara otomatis, sejak persiapan di Tanah Air maupun praksis ibadah di Makkah dan Madinah. Namun, musim haji tahun 2023 tampak lebih menantang. Kondisi jemaah haji Indonesia berbeda dengan tahun sebelumnya.

Jemaah haji Indonesia tahun ini memenuhi kuota 100 persen, berjumlah 221.000 orang, ditambah kuota tambahan sekitar 7.000-an, sehingga total sekitar 228.000 orang.

Arus Lansia

Berdasarkan data Siskohat (Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu) per 23 Maret 2023, terdapat 66.943 jemaah haji Indonesia lanjut usia (lansia) dengan usia 65 tahun ke atas. Artinya, sekitar 30% dari total jemaah haji tahun 2023 adalah lansia. Atau, 1 dari 3 jamaah haji Indonesia tahun 2023 adalah lansia.

Rinciannya adalah jemaah haji yang berusia di atas 95 tahun berjumlah 555 orang (0,8%), yang berusia 85-94 tahun berjumlah 7.680 orang (11,5%), yang berusia 75-84 tahun berjumlah 12.912 orang (19,3%), dan yang berusia 65-74 tahun berjumlah 45.796 orang (68,4%).

Saya tidak memiliki data yang pasti, tetapi berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, dari 26,82 juta lansia di Indonesia, sebanyak 52,95% berjenis kelamin perempuan. Sementara, lansia laki-laki 47,05%. Artinya, jumlah lansia perempuan mendominasi jemaah haji Indonesia tahun ini.

Penting juga diketahui bahwa lansia laki-laki pada umumnya masih berstatus menikah, sementara lansia perempuan rata-rata sudah menjanda, karena ditinggal mati suaminya atau bercerai sebelumnya.

Data BPS 2020 menyebutkan rata-rata lansia laki-laki maupun perempuan hanya bersekolah sampai kelas 5 SD atau sederajat. Dari jumlah total lansia, yang mengalami sakit mencapai seperempatnya (24,35%). Artinya 1 dari 4 lansia mengalami sakit dengan berbagai jenisnya. Peta Lansia Penting dijelaskan peta jemaah haji lansia tahun ini. Lansia memang hitungan usia. Namun, kondisi lansia beragam.

Pertama, ada lansia yang mandiri. Meskipun lansia, tetapi jemaah haji ini masih bisa mengatur dirinya secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Panca indera dan fisiknya masih sehat dan berfungsi dengan baik untuk menjalankan seluruh rangkaian ibadah haji.

Kedua, ada lansia yang sakit. Data BPS 2020, sebanyak 24,35% lansia mengalami sakit dengan berbagai jenisnya, sehingga membutuhkan penanganan khusus.

Sakit di sini bisa sakit fisik atau mental. Sakit fisik, misalnya jantung, paru-paru, diabetes, dan sejenisnya. Sakit mental, misalnya demensia, depresi, kecemasan, bipolar, dan sejenisnya. Memperlakukan mereka harus disesuaikan dengan kondisi dan jenis penyakitnya.

Ketiga, lansia yang berkebutuhan khusus. Ada lansia yang tidak bisa berjalan sama sekali, ada juga yang bisa berjalan tetapi tidak kuat lama. Ada lansia yang tidak bisa melihat sama sekali, ada juga yang bisa melihat tapi kabur, dan banyak lansia yang tidak bisa dan sulit untuk mendengar.

Lansia pada jenis ini tidak hanya dibutuhkan alat-alat atau media khusus, tetapi juga perlu penanganan dan perlakuan yang khusus sesuai dengan disabilitasnya.

Terhadap jemaah haji lansia dua kategori yang terakhir ini ada dua peta. Pertama, ada keluarga yang mendampinginya, baik suami/istri atau anak atau anggota keluarga lain. Kedua, ada dan kebanyakan tidak memiliki pendamping selama menunaikan ibadah haji.

Dari sisi alat atau media yang dibutuhkan, para jemaah haji lansia ini juga terdapat dua peta. Ada yang membawa kursi roda sendiri dari Tanah Air, dan ada yang tidak memiliki kursi roda sama sekali. Sementara, seluruh aktivitas ibadah haji mereka membutuhkan kursi roda.

Tantangan Lain

Suhu di Makkah dan Madinah pada musim haji tahun ini diperkirakan antara 40-45 derajat celsius. Inilah kondisi nyata dan tantangan hebat jemaah haji Indonesia tahun 2023. Sungguh sangat distingtif dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Selain karena efek pembatasan usia dan pengurangan kuota pada tahun yang lalu akibat pandemi Corona, juga daftar antrean panjang jemaah haji Indonesia menyebabkan kondisi ini terjadi.

Pada sisi yang lain, kebijakan pemerintah setempat tidak melebarkan dan memperluas tenda-tenda di Padang Arafah dan di Mina untuk mabit jemaah haji dengan jumlah yang begitu besar, tentu memperberat tantangan ini.

Sementara kita tahu bahwa ibadah haji itu adalah ibadah yang holistik dan total. Yakni, menyatunya antara kemampuan fisik, finansial, mental, dan spiritual. Sinergi antara jemaah haji, petugas haji, Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU), dan pemerintah menjadi keniscayaan. Tanpa sinergi, kolaborasi, dan integrasi multistakeholders, penyelenggaraan haji yang ramah bagi lansia sulit terwujud.

Ramah Lansia

Atas pertimbangan ini, Kementerian Agama menetapkan semangat haji tahun ini adalah layanan Haji Ramah Lansia. Ratusan petugas khusus layanan jemaah Lansia dikirim ke Arab Saudi, disebar ke berbagai titik krusial untuk melayani jemaah lansia, baik petugas Kloter maupun non-Kloter.

Sebetulnya yang lebih penting dari semua itu adalah pergeseran paradigma petugas haji. Jika dahulu petugas haji hanya menyediakan infrastruktur, fasilitas, konsumsi, logistik, kesehatan, dan semua yang dibutuhkan jemaah haji, tahun ini harus dibarengi dengan ruh yang sensitif, peduli, dan ramah terhadap lansia. Di sini, tentu saja petugas haji harus memiliki pendekatan, strategi, dan cara-cara spesifik yang ramah pada jemaah haji lansia.

Etika Kemanusiaan

Realitas haji tahun ini adalah ujian nyata bagi Kementerian Agama dan stakeholders penyelenggara haji lainnya dalam mengelola sumber daya yang dimiliki dalam memperlakukan lansia secara manusiawi dalam prinsip hak asasi manusia.

Lansia adalah manusia yang melekat padanya hak asasi manusia. Dan, karena usianya tidak hanya harus dimuliakan tetapi juga harus dihormati secara lebih. Karena kerentanannya, lansia harus diperlakukan secara khusus dan melekat padanya implementasi UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.

Tanpa mengurangi tujuan utama jemaah lansia untuk menjalankan ibadah haji dan umrah dengan sempurna dan memperoleh haji yang mabrur, perlakuan dan pelayanan yang ramah lansia dalam keseluruhan tahapan pelaksanaan ibadah haji dan umrah sejak dari Tanah Air hingga ke Makkah menjadi ukuran utama keberhasilan penyelenggaraan haji tahun 2023 ini. []

*Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Minggu, 18 Juni 2023 berikut link tulisannya: https://nasional.sindonews.com/read/1130547/18/tantangan-penyelenggaraan-haji-tahun-2023-1687097203/20