(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Pembelajaran dari Haji (1)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

PLURALISME MENJADI KESADARAN

ISIF CIREBON – Tanpa kesadaran pluralisme, ibadah haji tidak akan terselenggara dengan baik. Tanpa kesadaran pluralisme, setiap jamaah haji akan sibuk menyalahkan, membid’ahkan, dan menyesatkan amalan jamaah haji yang lain. Bukan ibadah yang dilaksanakan, tetapi debat, tuduh-menuduh, dan bisa jadi saling membunuh akibat perbedaan yang dipraktikkan.

Kita tahu, dalam pelaksanaan ibadah haji di Mekah kumpul jutaan umat Islam dari berbagai negara yang memiliki paham, aliran, madzhab, dan anutan tokoh yang berbeda-beda.

Dalam satu barisan shalat, ada yang takbiratul ihram dengan mengangkat tangan, ada yang tidak. Setelah takbiratul ihram, ada yang tangannya sedakep, ada yang tidak. Ketika baca surat al-Fatihah, ada yang diawali dengan bismillah, ada yang langsung alhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Pada jamaah haji perempuan, ada yang sholat memakai mukena berwarna-warni, ada yang pake baju biasa tampak tangannya, tampak rambutnya, dan ada yang mengumpul sesama jamaah perempuan, ada yang bersanding dengan jamaah laki-laki, dan seterusnya.

Walhasil, praktik ibadah selama pelaksanaan ibadah haji beragam, berbeda, beraneka, dan berwarna. Ntah karena pahamnya, alirannya, madzhabnya, atau karena ketidaktahuannya.

Dalam pelaksanaan ibadah haji, kumpul semua pengikut aliran dan madzhab dalam Islam: Syiah, Sunni, Wahabi, Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Ja’fariyah, Ibadliyyah, Zaidiyyah, Dhohiriyyah, dan yang tidak bermadzhab.

Kalau mereka adalah ekstremis agama yang hanya memutlakan pahamnya, lalu memaksakan pahamnya kepada orang, maka tentu ibadah haji menjadi ajang debat, baku hantam, saling menuduh, dan bisa jadi saling membunuh karena menghalalkan darah orang yang berbeda paham dengannya.

Akan tetapi, nyatanya tidak terjadi. Tidak ada perdebatan, tidak ada baku hantam, dan apalagi juga tidak ada pembunuhan karena perbedaan ini.

Mereka semuanya melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya, dan menghargai keyakinan dan praktik keagamaan orang lain. Meski berbeda, mereka diam dan menghargai.

Perbedaan bukan hanya dalam keyakinan dan praktik ibadah, tetapi juga dalam ekspresi keagamaan.

Sungguh menjadi potret kehidupan keagamaan yang menarik dan so sweet. Setiap orang meyakini keyakinannya dan mempraktikkannya secara sungguh-sungguh tanpa menyalahkan keyakinan orang lain.

Maha benar Allah dalam firman-Nya:

قُلۡ اَ تُحَآجُّوۡنَـنَا فِى اللّٰهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّکُمۡۚ وَلَنَآ اَعۡمَالُـنَا وَلَـكُمۡ اَعۡمَالُكُمۡۚ وَنَحۡنُ لَهٗ مُخۡلِصُوۡنَۙ‏ ١٣٩

“Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu hendak berdebat dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu, dan hanya kepada-Nya kami dengan tulus mengabdikan diri.”

Menurut saya, inilah toleransi. Inilah Islam. Beragam. Berbeda. Beraneka. Berwarna. Tetapi saling menghargai dan menghormati.

Diakui atau tidak, mereka sesungguhnya telah mempraktikkan kesadaran pluralisme dalam praktik keberagamaan. []

Melayani dengak Kasih Sayang (5)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Deskripsi sebelumnya yang sangat praktis dan detil menjelaskan bahwa ibadah ternyata tidak bisa berdiri sendiri, khususnya ibadah haji. Hubungan kita dengan Tuhan bukan semata urusan personal, tetapi juga menyangkut aspek sosial kemanusiaan, ekonomi, dan politik.

Sebagaimana diketahui, ibadah haji dalam kenyataannya tidak hanya mengandalkan kemampuan fisik, spiritual, mental, dan ekonomi, tetapi juga menyangkut hubungan antarnegara. Dalam konteks ini, sudah pasti ibadah haji membutuhkan intervensi negara. Harus ada kebijakan politik yang memayunginya. Dibutuhkan birokrasi yang menggerakkannya, apalagi ibadah ini dijalankan secara kolektif nasional dan internasional.

Oleh karena dilakukan bersama jutaan jamaah haji sedunia, yang semakin tahun semakin bertambah, maka infrastruktur pun disesuaikan. Perubahan-perubahan, inovasi, dan penambahan tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi kebutuhan. Ini akan berpengaruh pada substansi ibadah yang disyariatkan.

Tempat thawaf (mathaf), misalnya, sekarang tidak hanya di dekat Ka’bah yang selama thawaf bisa melihatnya, tetapi sekarang sudah berada di atas Ka’bah, lantai 2 dan lantai 3, di luar lingkaran Ka’bah yang kadang selama thawaf tidak pernah melihatnya.

Begitu juga tempat sa’i (mas’a), sekarang sudah dikembangkan di lantai 2 dan lantai 3, yang ketika menuju bukit shofa dan marwa sudah tidak lagi menginjak bukitnya. Hanya memutar di atas bukit shafa dan marwa.

Para jamaah haji pun, ketika melaksanakan thawaf dan sa’i tidak hanya jalan kaki yang membutuhkan energi tersendiri mengelilingi Ka’bah 7 kali putaran, dan 7 kali lari-lari kecil shafa-marwa. Sekarang banyak jamaah haji —yang berkebutuhan khusus– menggunakan kursi roda yang didorong oleh pendorong profesional, dan bahkan menggunakan scooter yang menggunakan mesin.

Hal yang sama juga di Jamarat. Tempat lempar jumrah (ula, wustha, dan ‘aqabah) sekarang sudah berlantai 6. Luar biasa perubahan dan inovasi yang dilakukan karena kebutuhan jamaah haji yang begitu besar.

Ini dari sisi wasilah penyelenggaraannya. Tentu berlaku kaidah, li al-wasa’il hukm al-maqashid.

Bagi saya, sungguh sangat menarik menjadi petugas haji pada tahun yang penuh dengan tantangan ini. Tidak saja soal ibadah dan politik, tetapi juga pergulatan kemanusiaan. Bukan saja menjalin hubungan kita dengan Allah, tetapi juga menselaraskan hubungan kita sesama manusia.

Lansia tentu saja menjadi faktor determinasi distingtif haji tahun ini. Bukan hanya petugas, tetapi juga sesama jamaah haji diuji sensitifitas kemanusiaannya dalam menjalankan ibadah.

Bagaimana hukum praktik ibadah (haji) yang mengabaikan kemanusiaan? Ini pertanyaan penting.

Banyak orang demi mementingkan limpahan pahala atau kesahan ibadah, rela mengesampingkan aspek kemanusiaan. Misalnya, demi sholat berjamaah di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, seorang Lansia ditinggal sendirian di kamar —yang berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi.

Banyak orang berpikir karena ketetapan fiqhnya bahwa kesahan ibadah (haji) adalah terpenuhinya syarat dan rukun. Kemanusiaan adalah hal lain, tidak terkait dengan ibadah. Akibatnya, demi peroleh kesahan ibadah Lansia yang memang membutuhkan sentuhan kemanusiaan orang lain dalam banyak kasus terabaikan, bahkan dalam jurang bahaya.

Ini tampaknya membutuhkan formulasi fiqh baru tentang kesahan dan kesempurnaan ibadah dalam pertimbangan kemanusiaan dan kemaslahatan, khususnya Lansia yang memang membutuhkan orang lain. []

Melayani dengan Kasih Sayang (3)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Hari berikutnya, saya bergeser ke Madinah. Di daerah kerja Madinah, petugas haji dibagi ke dalam 6 sektor. 5 sektor melayani dan menangani ribuan jamaah haji yang menginap di sejumlah hotel sekitar Masjid Nabawi, dan 1 sektor khusus yang bertugas mengawasi, melayani, dan membantu jamaah haji di sejumlah titik krusial di lingkungan Masjid Nabawi.

Dalam menjalankan tugas, saya ditempatkan di Sektor III Madinah, yang wilayah kerjanya di sebelah barat Masjid Nabawi.

Sektor III Madinah ini menangani, memantau, melayani, dan membantu jamaah haji yang singgah di 25 hotel sekitar Masjid Nabawi.

Tugas kami adalah sebelum rangkaian ibadah haji dimulai, menerima kedatangan jamaah haji gelombang I dari Tanah Air ke Madinah, dan setelah rangkaian haji terlaksana, menerima jamaah haji gelombang II yang datang dari Mekah ke Madinah.

Jamaah haji Indonesia tinggal di Madinah selama 8 hari. Tujuan utamnaya adalah agar bisa mengejar “arbain”. Yakni, sholat berjamaah di Masjid Nabawi dalam 40 waktu sholat.

Sembari mencapai “arbain”, para jamaah haji selama di Madinah pada umumnya melakukan ziarah ke maqbaroh Kanjeng Nabi Muhammad SAW, singgah di Raudlah, ziarah ke maqbaroh para sahabat Nabi SAW di pemakaman Baqi’, ziarah ke tempat-tempat bersejarah, seperti Masjid Quba, Masjid Qiblatain, jabal Uhud, dan lain-lain.

Setelah 8 hari di Madinah, para jamaah haji gelombang I kita dorong berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah. Dalam perjalanan ke Mekah, mereka melakukan niat ihram di miqot Bir Ali.

Jamaah haji gelombang II, setelah 8 hari di Madinah, kita dorong kembali ke Tanah Air, naik pesawat terbang melalui Bandara Madinah atau Jeddah.

Nah, tugas kami adalah menyambut kedatangan para jamaah haji di Madinah dan mengantarkan para jamaah haji bergeser ke Mekah atau pulang ke Tanah Air.

Dalam penyambutan kedatangan jamaah haji, banyak hal yang harus dilakukan. Di antaranya adalah memastikan ketersediaan dan kesiapan kamar hotel untuk satu kloter dalam sekali kedatangan, konsumsi mereka saat datang, memastikan koper besar, koper kecil, kursi roda, dan barang-barang bawaan jamaah haji aman dan tidak hilang.

Nah, petugas haji layanan jamaah Lansia di sini memastikan para Lansia, terutama yang berkebutuhan khusus, terlayani dengan baik. Jika butuh kursi roda dan didorong, disediakan kursi roda dan didorong hingga ke kamar hotel. Jika harus dituntun hingga ke kamar hotel, kita tuntun dengan ramah. Jika harus digendong, kita gendong. Intinya, para jamaah haji Lansia dan disabilitas harus terlayani sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Pelayanan terhadap Lansia dan disabilitas tidak hanya ini, tetapi juga kita memastikan mereka didahulukan dalam naik lift, masuk kamar, peroleh makanan, atau kalaupun harus menunggu bisa duduk dengan nyaman.

Demikian seterusnya hingga seluruh jamaah haji, termasuk Lansia dan disabilitas, sudah menemlati kamar masing-masing lengkap dengan koper besar, koper kecil, dan barang bawaan lainnya.

Ada prioritas lantai hotel untuk para jamaah haji Lansia dan disabilitas, yaitu ditempatkan di lantai paling bawah dan dekat dengan lift untuk memudahkan akses keluar masuk hotel.

Untuk konteks ini, saya ingin bercerita beberapa kasus layanan Lansia dan disabilitas dalam penyambutan kedatangan mereka.

Kasus yang paling banyak adalah kebutuhan mereka terhadap kursi roda dan mendorong mereka hingga ke kamar hotel. Ini sudah biasa kami lakukan.

Kasus lain adalah Lansia yang berkebutuhan khusus, ada yang tidak bisa berjalan sama sekali dan ada yang tidak bisa melihat sama sekali.

Terhadap mereka yang tidak bisa berjalan sama sekali, kami gendong dari atas mobil bus hingga ke kursi roda. Lalu, kursi roda didorong hingga ke kamar hotel.

Adapun terhadap yang tidak bisa melihat sama sekali, kami menuntunnya dengan penuh kecermatan untuk menapaki tangga mobil dari atas hingga ke kursi roda. Setelah duduk di kursi roda, kami dorong hingga ke kamar hotel.

Ini sejumlah pelayanan yang kami lakukan pada saat jamaah haji tiba di Madinah, baik gelombang I maupun gelombang II.

Perlu dicatat, kedatangan mereka itu berjumlah antara 360 hingga 450 orang jamaah haji dalam satu Kloter.

Dalam satu hari, bisa saja datang 10 Kloter pada 1 Sektor. Datang dengan waktu yang beragam, kadang siang hari, ada juga yang datang jam 1 atau 3 dini hari.

Berapapun kloter jamaah haji datang dalam satu hari, dan jam berapapun mereka datang di Madinah, kami petugas haji selalu siap melayani mereka, dan tidak boleh telat sedetik pun. []

Melayani dengan Kasih Sayang (2)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Saya adalah salah seorang yang ditunjuk sebagai Petugas Haji Layanan Jamaah Lansia non-Kloter. Sungguh suatu karunia yang harus disyukuri. Pertama, kerinduan saya selama 10 tahun tidak bermesraan dengan Ka’bah dan Raudlah terobati. Kedua, melayani Lansia adalah tantangan baru bagi saya. Saya adalah tipe orang yang suka mengahadapi tantangan baru.

Atas pertimbangan itu, ketika saya dipanggil untuk menjadi petugas haji layanan jamaah Lansia, tanpa berpikir panjang saya nyatakan siap. Dengan proses yang relatif cepat, akhirnya saya tiba di Haramayn.

Awalnya, saya ditugaskan di Mekah. Namun kemudian dipindah ke Madinah. Sehingga saya beruntung dalam waktu setengah bulan saya mengalami singgah di Mekah dan Madinah, sekaligus merasakan pengalaman yang berbeda dalam melayani jamaah haji Lansia di Mekah dan Madinah.

Bertugas di Mekah, hanya 2 hari saya jalani. Saya ditugaskan di Sektor Khusus Masjidil Haram. Hari pertama saya ditempatkan di tempat sa’i (mas’a) dan tempat thowaf (mathaf) lantai 2, di mana para jamaah Lansia melakukan thawaf dan sa’i dengan kursi roda.

Di situ, selama 12 jam, mulai jam 21.00 – 09.00 WSA saya bersama 3 orang petugas yang lain memantau, melayani, dan membantu jamaah haji Lansia yang menghadapi masalah.

Dalam waktu 12 jam, pada tanggal 14 Dzul Qo’dah 1444 H di mana jamaah haji Indonesia belum semuanya tiba di Mekah, saya menjumpai lebih dari 10 kasus yang dihadapi jamaah haji Lansia di mathaf dan mas’a.

Di antaranya adalah jamaah haji Lansia yang sedang thawaf dan sa’i dengan kursi roda dipindahtangankan dari pendorong awal ke pendorong kedua. KBHIU atau Karom/Karu sudah membayar pendorong dari muqimin (orang Indonesia yang tinggal di Saudi) atau pihak lain. Lalu, dalam banyak kasus orang ini sedang mendorong jamaah Lansia, namun tiba-tiba ditangkap oleh ‘askar (petugas keamaan Masjidil Haram) karena bukan pendorong yang legal. Akhirnya, kursi roda jamaah haji Lansia ini diambil alih dan diteruskan oleh pendorong legal yang berseragam pakaian Arab berrompi dan bertopi, hingga 7 kali putaran sebagaimana seharusnya.

Nah, ketika sudah selesai 7 kali putaran ini, pendorong terakhir minta bayaran (ujrah). Di sini jamaah haji Lansia ada beberapa kasus.

Pertama, tidak memiliki uang yang cukup. Ada yang memang tidak membawa dompet, ada yang jumlah uangnya kurang, dan ada juga yang dompetnya hilang. Timbul masalah.

Kedua, jamaah haji Lansia memiliki uang, tetapi tidak bisa berbicara bahasa Arab untuk negosiasi upah yang harus dibayarkan. Bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat, tetapi tidak terjadi kesepakatan jumlah upah yang harus dibayarkan. Baginya terlalu mahal. Juga timbul masalah.

Menghadapi kasus ini, jika bisa diselesaikan dengan negosiasi melalui musyawarah mufakat, maka masalah rampung. Jika untuk menyelesaikannya harus telepon Ketua Kloter, maka kami telepon Ketua Kloter. Intinya, bagaimana jamaah haji Lansia tidak sendirian, ada yang menemani, dan masalah yang dihadapi terselesaikan secara damai, ittifaq, dan taradliy.

Kasus lain yang ditemui adalah jamaah haji Lansia berkursi roda, tetapi tidak ada yang mendorong, ntah tidak menyewa pendorong atau ditinggal pergi oleh pendorongnya. Intinya, dia sendirian tanpa ada yang mendorong.

Menghadapi kasus ini, kami gantian mendorong kursi roda jamaah haji Lansia yang akan thawaf dan sa’i hingga tahallul, atau kami carikan pendorong legal profesional yang siap mendorong hingga tahallul.

Kasus yang tidak kalah banyaknya adalah jamaah haji Lansia tidak tahu ke mana harus pulang ke hotelnya, dan melalui terminal mana menuju. Dia sendirian di lantai 2 mas’a. Ditanya hotel tempat tinggalnya, tidak tahu. Melalui terminal mana naik bus “sholawat”, tidak tahu, Kloter berapa juga tidak tahu.

—–
Bus “sholawat” adalah suatu istilah sejumlah bus dengan nomor punggung yang berbeda-beda yang telah disediakan Pemerintah Indonesia untuk mengantarkan jamaah haji Indonesia dari hotel tempat tinggal jamaah haji ke Masjidil Haram. Bus ini stand by 24 jam.
—–

Menghadapi kasus yang terakhir ini, kami cek gelangnya. Di situ ada nama embarkasi dan kloternya. Juga kami cek tanda pengenalnya. Melalui aplikasi Haji Pintar yang dibuat Kemenag bisa diketahui nama, nomor passport, embarkasi berangkat, kloter berapa, di hotel mana dia tinggal di Mekah dan Madinah, juga diketahui nama Ketua Kloter, Ketua Rombongan, bahkan diketahui kapan dia akan kembali ke Tanah Air.

Cukup dengan menscan barkode via aplikasi Haji Pintar, kami bisa menemukan semua identitas jamaah haji. Di sinilah pentingnya gelang terbuat besi yang dipakai, dan identitas jamaah haji. Jangan sampai tidak melekat pada jamaah haji Indonesia.

Setelah diketahui semua informasi yang kami butuhkan, tentu saja kami mengantarnya hingga ke terminal bus di mana dia menuju hotelnya. Di setiap terminal bus juga terdapat banyak petugas haji. Tidak sedikit, petugas haji di terminal mengantarkan jamaah haji Lansia ini hingga ke hotelnya.

Ada lagi kasus yang dijumpai, yaitu jamaah haji Lansia kelelahan dan dehidrasi. Dalam kasus ini, kami mencarikan kursi roda, memberinya minum, dan segera berkoordinasi dengan EMT (Emergency Medical Team) petugas kesehatan.

Ini sejumlah kasus yang ditemui di mathaf dan mas’a.

Berbeda lagi kasus-kasus yang ditemui di halaman Masjidil Haram.

Kebetulan pada hari kedua di Mekah, saya ditugaskan oleh Kepala Sektor Khusus untuk memantau, membantu, dan melayani jamaah haji di depan Zamzam Tower (depan WC 3), halaman Masjidil Haram.

Kenapa di sini? Karena di tempat inilah, pintu masuk terdekat untuk melakukan thawaf, pintu keluar dari Masjidil Haram, dan banyak jamaah haji keliru dan kebingungan menentukan arah terminal bus.

Sama dengan hari pertama, pada hari kedua ini saya ditugaskan malam hari juga, yakni sejak jam 21.00-09.00 WSA. Bersama 3 petugas yang lain, kami berbagi siapa berada di pojok mana dari halaman depan Zamzam Tower ini.

Di tempat ini, kasus-kasus jamaah haji, terutama jamaah haji Lansia, yang paling banyak dijumpai adalah kebingungan menemukan arah terminal bus yang dituju.

Di sekitar Masjidil Haram, terdapat 3 terminal bus di mana bus “sholawat” stand by mengantarkan jamaah haji 24 jam dari terminal Masjidil Haram ke hotel tempat tinggal. Yaitu, terminal Syib Amir, Bab Ali, dan Jiyad. Tiga terminal ini berada di tiga arah kompas yang berbeda.

Menghadapi kasus ini, kami menunjukkan arah atau bila diperlukan mengantarkan jamaah hingga ke terminal yang dimaksud. Bila jamaah haji Lansia dan dibutuhkan kursi roda karena kelelahan atau jauhnya jalan kaki, kami mencarikan kursi roda dan mendorongnya hingga ke terminal.

Selain kebingungan menentukan arah terminal, juga kebanyakan jamaah haji terutama yang Lansia tidak tahu tempat tinggalnya. Dia tertinggal dan terpisah dari rombongan jamaah thawaf dan sa’i atau rombongan sholat maktubah. Ditanya tinggal di mana, tidak tahu. Kloter berapa tidak tahu.

Dalam menghadapi kasus ini, mitigasinya sama dengan kasus sejenis yang terjadi di mas’a.

Ada lagi kasus istri terpisah dari suaminya atau suami terpisah dari istrinya atau anak dari orang tuanya atau dengan teman rombongan jamaahnya. Mereka saling mencari dan kebingungan menemukannya.

Menghadapi kasus ini, kami berkoordinasi dengan sesama petugas di Sektor Khusus untuk menemukan orang yang terpisah ini dengan cara memfoto yang bersangkutan dan identitas yang diperlukan. Lalu, diunggah ke grup Sektor Khusus.

Cara lain, kami menelpon yang bersangkutan bila membawa HP, atau berkoordinasi dengan ketua Kloter dan ketua rombogannya.

Dalam banyak kasus, masalah ini teratasi dan ditemukan hingga akhirnya mereka bertemu dan kembali bersama keluarga atau rombongannya.

Inilah sejumlah kasus yang saya temui saat saya bertugas di sektor Khusus Masjidil Haram selama dua hari pertama kedatangan di Mekah. []