by admin | 9 Oct 2024 | Artikel, Kolom Rektor
Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) adalah kampus atau lembaga pendidikan tinggi Islam yang lahir dari rahim gerakan sosial kemanusiaan Fahmina-institute. Kampus ini berdiri di atas dasar aspirasi publik yang mengemuka pada saat peringatan 7 tahun Fahmina dan hasil ‘ijtihad’ para pendiri Fahmina sendiri pada tahun 2007 yang lalu.
Atas dukungan banyak pihak, kampus progresif ini tampak terus tumbuh, mengembangkan, dan memantapkan langkah-langkah akademiknya. Tiga pilar (tri dharma) perguruan tinggi –pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat– terus ditancapkan hingga ke akar bumi, sementara buah akademiknya terus menggelayut ke atap langit, membangun peradaban Indonesia yang adil, setara, humanis, dan unggul.
Membedakan ISIF
Penting dicatat, perbedaan mendasar ISIF dengan PTAI lainnya adalah struktur dan substansi kurikulumnya. Dalam konteks itu, ISIF menempatkan keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawah), kemanusiaan (al-basyariyah), lokalitas (al-‘adah), dan kebhinekaan (at-ta’addudiyyah) sebagai perspektif atau paradigma untuk studi keislaman, baik bagi mahasiswa maupun dosennya.
Pada semester pertama, mahasiswa ISIF memperoleh mata kuliah studi gender, studi HAM, studi demokrasi, studi pluralisme, studi kebudayaan lokal, dan studi gerakan sosial, sesuatu yang jarang ditemukan dari kurikulum PTKI manapun.
Setelah rumpun mata kuliah perspektif ini, mahasiswa ISIF pada semester kedua memperoleh rumpun mata kuliah metodologi dan alat analisis yang dapat digunakan untuk memperoleh data yang akurat dan ‘kebenaran’. Di antara metodologi yang diberikan adalah metodologi penelitian kualitatif, metodologi penelitian kuantitatif, metodologi penelitian aksi partisipatoris, analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, serta belajar dan hidup bersama masyarakat. Harapannya, mahasiswa ISIF sejak dini memiliki kemampuan metodologis untuk meneliti, mengkaji, dan menganalisis realitas sosial, realitas sejarah, teks, dan realitas budaya.
Pada semester ketiga, ISIF menawarkan rumpun mata kuliah “studi pengantar ilmu-ilmu keislaman.” Di antaranya adalah studi pengantar al-Our’an, studi pengantar al-Hadits, studi pengantar kalam, studi pengantar hukum Islam, studi pengantar tasawuf, dan studi pengantar ushul figh. Sejak semester ini, mahasiswa ISIF mulai memasuki bidang studi Islam, dari studi pengantar hingga ke substansi yang mendalam, kepakaran, dan mata kuliah pilihan profesi pada semester ketujuh dan kuartal.
Posisi Epistemologi Islam
Ditilik dari kurikulum ini saja, ISIF tampak berbeda dengan PTKI lainnya. ISIF mengambil posisi yang jelas antara keislaman, sejarah kemanusiaan, dan realitas sosial yang terus berubah. Tiga hal itu diposisikan ISIF hampir sama dengan konsep trinitas dalam pemahaman Kristiani,
Moto ISIF tegas, yakni memadukan teori, praktik, dan transformasi sosial berbasis tradisi intelektualisme Islam-pesantren. Mengapa intelektualisme Islam-pesantren? Harus diakui bahwa pesantren adalah pranata sosial Indonesia yang sangat kaya dan kuat dengan tradisi pemikiran dan akademik.
Dalam tradisi akademik pesantren, perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam adalah hal yang biasa, lumrah terjadi, dihargai, dan menjadi bagian dari ruh kehidupan. Pesantren juga kuat dengan ikatan tradisi, menyatu dengan kebudayaan di mana ia bersamanya, serta mampu hidup dalam kebhinekaan, tanpa bertendensi menundukkan dan menyeragamkannya.
Sesuai dengan motonya, ISIF hendak menghasilkan intelektual organik (organic intellectuals), yakni sarjana Islam yang menggali pengetahuan lokal (local knowledge) dari pengalaman kehidupan masyarakat, dan menggunakan pengetahuan itu untuk melakukan perubahan dan memecahkan problematika sosial bersama masyarakatnya.
Dalam bahasa lain, sarjana Islam yang hendak dihasilkan ISIF adalah sarjana yang memiliki jiwa kenabian (profetik), yakni menjadikan ilmu pengetahuannya untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang mereka alami. Dalam keyakinan epistemologi ISIF, ilmu bukan untuk ilmu, melainkan ilmu untuk transformasi sosial demi kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (wisdom) di muka bumi.
Sikap terhadap Masa Lalu
Selain teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits, ISIF juga melakukan studi realitas keislaman masa lalu, sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga masa sekarang. Kecuali teks al-Qur’an dan al-Hadits, semuanya dipandang ISIF sebagai realitas sosial budaya yang tidak mutlak, karena realitas itu lahir dari rahim peradaban suatu tempat dan saat tertentu yang diliputi dengan subyektifitas dan faktor-faktor spesifik yang melatarinya. Kecuali wahyu, tidak ada yang universal dan langgeng, semuanya bisa ber(di)ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, dan tradisi. Inilah asas fleksibilitas (murunah) dalam pemahaman keislaman.
Islam masa lalu diposisikan ISIF sebagai bahan baku yang sangat kaya dan penting untuk merajut masa kini. Diperlukan kontekstualisasi, transformasi, dan pribumisasi masa lalu untuk dapat digunakan ke dalam masa kini. Masa lalu tidak bisa di-copy paste begitu saja untuk menjustifikasi masa kini, apalagi untuk masa yang akan datang.
Islam yang ingin dihadirkan ISIF adalah Islam-Indonesia dengan seluruh dasar ideologi dan kebudayaannya hari ini, bukan Islam-Arab, bukan Islam-Timur Tengah, dan bukan pula Islam-Barat. Islam-Indonesia adalah Islam yang menyatu dengan wajah, karakter, dan perilaku keindonesiaan, dengan seluruh kebudayaan, tradisi, dan nalar sosial politiknya.
Untuk menghadirkan Islam-Indonesia hari ini dibutuhkan penguasaan yang mendalam secara bersamaan terhadap pengetahuan Islam masa lalu (at-turats al-Islamiy), pengetahuan Barat (at-turats al-gharbiy) yang menguasai dunia hari ini, dan pengetahuan kebudayaan Indonesia (al-hadlarah al-indunisiyyah), bumi kita berpijak. Segi tiga bangunan pengetahuan dan peradaban ini adalah soko guru keilmuan ISIF.
Islam yang Dicita-citakan
Sebagai lembaga studi Islam, ISIF tentu memiliki bangunan Islam yang dicita-citakan. Islam dalam pandangan ISIF adalah instrumen Allah untuk menegakkan keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan dalam kehidupan kemanusiaan yang bermartabat di muka bumi. Islam hadir untuk menjadi rahmat (cinta-kasih) bagi seluruh makhluk-Nya. Jangkauan Islam bukan hanya manusia, tetapi juga binatang, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh benda-benda alam lainnya. Semuanya menjadi perhatian Islam sebagai keseimbangan ekosistem.
Dalam posisi ini jelas bahwa Islam adalah keadilan bagi seluruh hamba-Nya, rahmat bagi seluruh ciptaan-Nya, dan pelindung bagi seluruh perbedaan dan keragaman di muka bumi ini. Islam adalah agama keadilan, agama kesetaraan, agama kemaslahatan, agama kedamaian, agama cinta kasih, dan agama pelindung kebhinekaan.
Dengan demikian, adalah pengkerdilan besar-besaran, apabila Islam dipahami hanya untuk umat Islam saja, diidentikkan dengan Arabisme, lalu memusuhi selain Islam, memberantas tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan Arabisme. Islam juga bukan kendaraan politik yang dapat ditunggangi oleh kepentingan duniawi dan kekuasaan penganutnya.
Sebaliknya, Islam hadir untuk semuanya, untuk kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, perdamaian, dan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia. Apapun agamanya, apapun sukunya, apapun gender dan jenis kelaminnya, apapun orientasi seksualnya, dan apapun warna kulitnya berada dalam naungan rahmat Islam. Semuanya sama dan setara di hadapan Islam. Pembeda mereka di hadapan Allah hanyalah amal perbuatan dan ketakwaannya. Inna akramakum ‘inda Allahi atqokum.
Gerbang Pembaruan
Mencermati kerangka filosofis, paradigmatik, epistemologi, dan kurikulum studi Islam ISIF di atas, kami memiliki obsesi dan optimisme besar akan lahirnya para pembaru Islam dari Cirebon. Obsesi dan optimisme ini sangat berdasar. Di mana-mana, pembaruan selalu dimulai dari kebebasan berpikir, kemudian adanya ruang kebebasan mimbar akademik, dan adanya ruang/ media/fasilitasi untuk menuangkan gagasan-gagasan pembaruan tersebut.
Sejak kelahirannya, ISIF telah menyediakan tiga adegan tersebut. Dasar-dasar berpikir kritis, kebebasan berpikir, penguasaan bahan baku keislaman, semangat perubahan, serta ruang kebebasan mimbar akademik dan media ekspresi pembaruan telah disediakan.
Dengan demikian, pembaruan pangkalan-pangkalan sudah dilakukan oleh para founding fathers/mothers Fahmina. Kami telah menulis sejumlah buku, mulai menawarkan sejumlah pemikiran pembaruan, membukakan gerbang lebar bagi gerakan pembaruan lanjutan yang lebih luas dan simultan, dan menyediakan media yang mendukung bagi persemaian gagasan-gagasan pembaruan.
Kini saatnya, civitas akademika (dosen dan mahasiswa) ISIF terus berijtihad (berpikir bebas) dan bekerja keras mengubah dunia dengan pemikiran-pemikiran kritis-transformatif yang digali dari sumber-sumber keislaman dan kekayaan budaya tradisi sendiri.
Ingatlah: perubahan sosial tanpa perubahan ide cerdas ibarat rumah laba-laba, dan ide cerdas tanpa perubahan sosial ibarat busa. Wallahu A’lam bish Shawab.
— Artikel ini telah terbit secara cetak di Majalah LATAR ISIF Edisi 1 no. 1 Tahun 2011.
by Admin | 29 Apr 2023 | Artikel
Judul Buku: Fiqih Perempuan
Penulis: Husein Muhammad
Penerbit : Diva Press
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit: 2019
Oleh: Gungun Gunawan (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON – Buku ini adalah refleksi kegelisahan KH. Husein Muhammad sebagai kiai pesantren atas isu-isu perempuan. Melalui pemikirannya, pria yang kerap disapa Buya Husein menuangkan gagasannya tentang problematika perempuan dan kesetaraan gender dalam perspektif Islam.
Hasilnya, buku ini menjadi sebuah diskursus yang brilian dan mendobrak sekat-sekat dogmatis tradisi keagamaan konservatif yang masih memandang perempuan sebagai manusia kedua setelah laki-laki.
Melalui penyusunan dan editing yang apik oleh Kiai Faqih Abdul Kodir pula, buku ini memberikan pemahaman alternatif mengenai posisi perempuan sebagai makhluk yang sama dan setara dengan laki-laki.
Dengan perspektif Islam tentunya, buku ini menggunakan referensi tafsir ayat al-Qur’an, tafsir hadits, pendapat para ulama terdahulu, kaidah-kaidah fiqih, dan tinjauan maqasyid asy-syari’ah dalam interpretasi terhadap posisi dan peran perempuan dalam kehidupan. Sehingga argumentasi dan pendapat yang diberikan mempunyai posisi dan landasan kuat dan bisa diperdebatkan dengan tafsir terdahulu.
Dengan bahasa yang ringan, buku ini layak menjadi pegangan dasar bagi yang ingin memahami secara utuh tentang perempuan dan kesetaraan gender dari perspektif Islam.
Usia Perkawinan Anak di Berbagai Negara
Atas apa yang menjadi kesan bacaan di atas, sebagai sampel hasil bacaan, saya ingin mengutarakan refleksi atas apa yang telah Buya Husein telurkan dalam buku ini, terkhusus pada bagian yang membahas perkawinan anak.
Dalam bukunya, Buya Husein mengutip pendapat Ibnu Syubrumah, bahwa secara tegas beliau menolak pernikahan anak. Ibnu Syubrumah juga menyebut bahwa kebolehan perkawinan anak hanya berlaku khusus untuk Nabi Muhammad Saw.
Sama halnya dengan pandangan Ibnu Syubrumah, pendapat Abu Bakar al-Asham dan Utsman al-Batti juga menegaskan bahwa laki-laki atau perempuan di bawah umur tidak sah menikah. Sedangkan merujuk kepada pernikahan Nabi dengan Aisyah, mereka berpendapat bahwa pernikahan Nabi Saw dan Aisyah adalah pengecualian dan kekhususan bagi Nabi Saw saja.
Oleh sebab itu, pandangan dari tiga ulama di atas menjadi dasar bagi negara Syiria. Di Syiria terkait peraturan pernikahan mereka menetapkan pelarangan pernikahan anak atas dasar beberapa pertimbangan, di antaranya terkait kemaslahatan, realitas sosial, dan pertimbangan tanggung jawab perkawinan. Syarat yang bisa menikah di Syiria adalah bagi mereka yang sudah baligh dan berusia 18 tahun bagi laki-laki. Sedangkan bagi perempuan minimal berusia 17 tahun.
Selain di Syiria, di Mesir juga demikian. Di Mesir elah menetapkan aturan batas usia menikah. Usia bagi perempuan yang ingin menikah 16 tahun sedangkan bagi laki-laki boleh menikah saat usianya masuk 18 tahun. Di Bangladesh, perempuan yang bisa menikah adalah yang telah berusia 18 tahun dan 21 tahun bagi laki-laki. Sedangkan di Tunisia, seperti di Indonesia, menetapkan umur 19 tahun sebagai acuan batas minimal bagi laki-laki dan perempuan yang boleh menikah.
Larangan Perkawinan Anak
Dalam buku ini, Buya Husein menyebutkan terkait larangan perkawinan anak. Larangan ini, kata Buya Husein, karena beberapa fakta realitas di kehidupan masyarakat kerap kali perkawinan anak ini mendatangkan banyak dampak buruk.
Misalnya, banyaknya anak laki-laki maupun perempuan yang belum siap secara fisik, mental, maupun secara ekonomi. Terlebih, bagi anak perempuan mengalami hamil di usia anak-anak, ini tentu akan berpengaruh kepada fisik dan mental si anak. Tidak sedikit anak mengalami keguguran, kurangnya gizi bagi bayi (stunting).
Sementara itu, dalam ajaran Islam sendiri telah memerintahkan umatnya untuk mengambil maslahat dan menghilangkan mafsadat. Jika perkawinan anak ternyata banyak menimbulkan tindakan kemafsadatan seperti, stunting, penelantaran ekonomi dan sebagainya. Maka menghilangkan kemafsadatan tersebut adalah yang utama.
Selain itu, jika meninjaunya dari maqashid asy-syari’ah juga demikian. Dengan kita melarang pernikahan anak ini, menjadi upaya untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifdz an-nasl) yang sehat.
Dari beberapa pertimbangan di atas, kita dapat memahami bahwa dalam usaha untuk mencapai keluarga yang harmonis. Maka kita butuh aturan terkait batas usia perkawinan. Hal ini guna untuk menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan demi tercapainya kemaslahatan bersama. []
*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 25 Oktober 2022 dengan judul: Buku Fiqih Perempuan : Kesetaraan Gender dan Kawin Anak dalam Perspektif Islam
by Admin | 9 Jul 2022 | Kolom Rektor
Oleh : Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)
Kasus Gunung Es
Dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Pesantren Shiddiqiyah Losari, Ploso, Jombang adalah kasus yang memilukan dan memalukan. Harus diakui, masih banyak kasus kekerasan seksual di Pesantren, baik dilakukan antara ustadz dengan santri atau santri dengan santri, sebagaimana juga terjadi di jenis pendidikan yang lain antara guru dengan siswa, dosen dengan mahasiswa, siswa dengan siswa, dan mahasiswa dengan mahasiswa. Ini ibarat gunung es, hanya pucuk permukaan saja yang tampak.
Kasus kekerasan seksual memang masih menjadi problem besar bangsa kita. Ini terjadi di mana-mana, di tempat kerja, transfortasi umum, ruang publik, ruang domestik, dalam perkawinan, termasuk lembaga pendidikan. Pelakunya pun beragam, mulai dari kelas atas hingga kelas bawah, mulai dari orang terjauh hingga terdekat, mulai dari orang yang tidak terdidik hingga berpendidikan paling tinggi.
Meskipun saya akui bahwa kasus ini tidak hanya satu, bisa jadi banyak sekali jika dibongkar ibarat gunung es, tetapi saya meyakini sebagian besar Pesantren yang jumlahnya puluhan ribu tidak termasuk di dalamnya. Artinya, publik tidak usah kuatir bahwa Pesantren dalam pandangan saya masih menjadi lembaga pendidikan keagamaan yang bermoral tinggi. Solusinya, kita harus cermat ketika memilih pondok pesantren mana sebagai pilihan pendidikan.
Penistaan Kemanusiaan
Pencabulan dan sejenisnya adalah bagian dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang bertentangan dengan ajaran agama, hukum, dan akal sehat. Siapapun yang melakukannya, sekalipun tokoh agama, harus diperlakukan dengan hukum yang sama. Setiap orang setara di hadapan hukum (everyone is equal before the law). Tidak ada orang yang kebal hukum di Indonesia. Setiap orang harus bertanggungjawab atas perbuatannya, baik di dunia maupun di akherat.
Sungguh sangat disesalkan, tokoh Pesantren yang seharusnya memberikan teladan untuk memperlakukan perempuan secara ramah, adil, dan penuh kasih sayang –sebagaimana diteladankan Rasulullah SAW– malah melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama, kemanusiaan, hukum, dan akal sehat.
Pencabulan dan sejenisnya adalah perbuatan biadab, keji, dan menciderai kemanusiaan. Pelakunya harus dihukum secara adil sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk pelaku penyerta dan mereka yang menghalangi proses penegakan hukum atas pelaku. Aparat penegak hukum –polisi, kejaksaan dan hakim– harus tegas tanpa diskriminasi dalam menegakkan hukum.
Jangan Hukum Non Pelaku
Hanya saja, kita perlu hati-hati dalam menyikapi kasus ini. Pelakunya memang wajib dihukum, tetapi korban jangan sampai terkena hukuman, baik hukuman oleh aparat penegak hukum maupun hukuman sosial oleh masyarakat. Ini harus dijaga. Korban harus dilindungi, dirahasiakan, dan bahkan harus memperoleh rehabilitasi sepenuhnya agar tidak ada stigma setelahnya.
Para santri yang lain –yang tidak tahu menahu dan tidak terkait dengan kasus ini—juga jangan sampai terkena imbasnya. Mereka tidak bersalah dan tidak boleh dipersalahkan. Hak-haknya tidak boleh tereduksi dan terlanggar oleh siapapun.
Para santri harus tetap memperoleh haknya untuk belajar, mengaji, dan memperoleh ilmu sebagaimana sebelumnya. Jangan sampai karena kasus ini, lalu hak atas pendidikan para santri tidak dipenuhi. Bukan sekadar hak atas pendidikan, tetapi juga hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan nama baik para santri ini harus dilindungi dan dipenuhi.
Oleh karena itu, saya berharap pencabutan izin operasioal Pesantren ini tidak permanen, tapi sementara saja hingga Pesantren Shiddiqiyah berbenah dan bertransformasi untuk melawan kekerasan seksual.
Bangun Sistem Pendidikan Anti Kekerasan Seksual
Pesantren Shiddiqiyah –dan pesantren-pesantren lain juga– harus belajar dan mengambil pembelajaran dari kasus ini. Semua Pesantren harus menyadari bahwa kekerasan seksual tidak boleh terjadi di lingkungan Pesantren dalam bentuk apapun, oleh siapapun, dan kepada siapapun.
Untuk mewujudkan ini, Pesantren harus membuat regulasi/aturan yang tegas tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Pesantren, termasuk harus memiliki SOP dan Satgas Anti Kekerasan Seksual. Selain regulasi yang tegas, juga perlu ada edukasi yang berkesimbungan kepada semua ustadz dan santri tentang kekerasan seksual, bahaya, dampak, dan mitigasinya.
Kekerasan seksual tidak saja harus menjadi bagian dari pelanggaran etika sosial, etika keagamaan, dan etika pesantren, tetapi juga perlu masuk dalam kurikulum sistem pendidikan pesantren.
Siapapun tidak boleh melakukannya dalam bentuk apapun. Jika ada yang melakukannya, maka harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Kita sudah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang harus dihormati dan ditegakkan oleh semua komponen bangsa.
Pak polisi, jaksa, dan hakim, selamat bertugas!
Pak ustadz Pesantren, selamat berbenah!
by Admin | 17 Jun 2022 | Mahasiswa & Alumni
Oleh : Gun Gun Gunawan (Ketua DEMA ISIF)
Secara umum, moderasi beragama merupakan gerakan jalan tengah dalam memediasi persoalan relasi antar umat beragama.
Moderasi beragama juga menjadi cara pandang mengenai praktik beragama yang mengamalkan esensi ajaran-ajaran agama yang hakikatnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan menebarkan kemaslahatan bersama.
Selain itu, moderasi beragama juga hadir untuk memberikan alternatif terhadap persoalan keberagaman. Pasalnya, keberagaman ini merupakan anugerah yang telah diberikan Allah Swt.
Jika merujuk pada pandangan Lukman Hakim Syaifuddin dalam buku “Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya” moderasi beragama merupakan cara pandang sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengerjakan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa.
Bagi Lukman, frasa “dalam kehidupan bersama” mengindikasikan bahwa penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang dimaksud dalam penguatan moderasi beragama utamanya adalah menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Artinya, moderasi beragama tidak dimaksudkan untuk mengintervensi kehidupan dan praktik beragama individu sebagai pribadi.
Frasa “mengejawantahkan esensi ajaran agama” mengindikasikan bahwa moderasi beragama menekankan adanya pemahaman dan praktik beragama substantif yang selalu mengedepankan esensi setiap ajaran dan ritual agama.
Kerangka berpikir urgensi moderasi beragama ini dibangun di atas kesadaran bahwa esensi ajaran agama yang paling luhur adalah martabat kemanusiaan.
Oleh sebab itu, perlu ditekankan bahwa tujuan utama sikap moderat ditujukan untuk melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum.
Nilai-nilai yang telah disebut pun harus berlandas pada prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa.
Poin ini lebih pada penegasan kepada cara pandang, sikap, dan perilaku ajaran keagamaan tidak boleh mengakibatkan adanya penyimpanan dan pelanggaran terhadap ideologi dan konstitusi negara (Pancasila dan UUD 1945) yang telah menjadi konsesus bersama bangsa Indonesia.
Karena sejatinya paham akan moderasi beragama secara eksplisit telah meniscayakan pada setiap warga negara Indonesia untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. []