(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Melayani dengak Kasih Sayang (5)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Deskripsi sebelumnya yang sangat praktis dan detil menjelaskan bahwa ibadah ternyata tidak bisa berdiri sendiri, khususnya ibadah haji. Hubungan kita dengan Tuhan bukan semata urusan personal, tetapi juga menyangkut aspek sosial kemanusiaan, ekonomi, dan politik.

Sebagaimana diketahui, ibadah haji dalam kenyataannya tidak hanya mengandalkan kemampuan fisik, spiritual, mental, dan ekonomi, tetapi juga menyangkut hubungan antarnegara. Dalam konteks ini, sudah pasti ibadah haji membutuhkan intervensi negara. Harus ada kebijakan politik yang memayunginya. Dibutuhkan birokrasi yang menggerakkannya, apalagi ibadah ini dijalankan secara kolektif nasional dan internasional.

Oleh karena dilakukan bersama jutaan jamaah haji sedunia, yang semakin tahun semakin bertambah, maka infrastruktur pun disesuaikan. Perubahan-perubahan, inovasi, dan penambahan tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi kebutuhan. Ini akan berpengaruh pada substansi ibadah yang disyariatkan.

Tempat thawaf (mathaf), misalnya, sekarang tidak hanya di dekat Ka’bah yang selama thawaf bisa melihatnya, tetapi sekarang sudah berada di atas Ka’bah, lantai 2 dan lantai 3, di luar lingkaran Ka’bah yang kadang selama thawaf tidak pernah melihatnya.

Begitu juga tempat sa’i (mas’a), sekarang sudah dikembangkan di lantai 2 dan lantai 3, yang ketika menuju bukit shofa dan marwa sudah tidak lagi menginjak bukitnya. Hanya memutar di atas bukit shafa dan marwa.

Para jamaah haji pun, ketika melaksanakan thawaf dan sa’i tidak hanya jalan kaki yang membutuhkan energi tersendiri mengelilingi Ka’bah 7 kali putaran, dan 7 kali lari-lari kecil shafa-marwa. Sekarang banyak jamaah haji —yang berkebutuhan khusus– menggunakan kursi roda yang didorong oleh pendorong profesional, dan bahkan menggunakan scooter yang menggunakan mesin.

Hal yang sama juga di Jamarat. Tempat lempar jumrah (ula, wustha, dan ‘aqabah) sekarang sudah berlantai 6. Luar biasa perubahan dan inovasi yang dilakukan karena kebutuhan jamaah haji yang begitu besar.

Ini dari sisi wasilah penyelenggaraannya. Tentu berlaku kaidah, li al-wasa’il hukm al-maqashid.

Bagi saya, sungguh sangat menarik menjadi petugas haji pada tahun yang penuh dengan tantangan ini. Tidak saja soal ibadah dan politik, tetapi juga pergulatan kemanusiaan. Bukan saja menjalin hubungan kita dengan Allah, tetapi juga menselaraskan hubungan kita sesama manusia.

Lansia tentu saja menjadi faktor determinasi distingtif haji tahun ini. Bukan hanya petugas, tetapi juga sesama jamaah haji diuji sensitifitas kemanusiaannya dalam menjalankan ibadah.

Bagaimana hukum praktik ibadah (haji) yang mengabaikan kemanusiaan? Ini pertanyaan penting.

Banyak orang demi mementingkan limpahan pahala atau kesahan ibadah, rela mengesampingkan aspek kemanusiaan. Misalnya, demi sholat berjamaah di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, seorang Lansia ditinggal sendirian di kamar —yang berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi.

Banyak orang berpikir karena ketetapan fiqhnya bahwa kesahan ibadah (haji) adalah terpenuhinya syarat dan rukun. Kemanusiaan adalah hal lain, tidak terkait dengan ibadah. Akibatnya, demi peroleh kesahan ibadah Lansia yang memang membutuhkan sentuhan kemanusiaan orang lain dalam banyak kasus terabaikan, bahkan dalam jurang bahaya.

Ini tampaknya membutuhkan formulasi fiqh baru tentang kesahan dan kesempurnaan ibadah dalam pertimbangan kemanusiaan dan kemaslahatan, khususnya Lansia yang memang membutuhkan orang lain. []

Melayani dengan Kasih Sayang (4)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Tugas lain yang kami lakukan di Madinah adalah melayani, membantu, dan memastikan jamaah haji setelah 8 hari tinggal di Madinah dapat bergeser ke Mekah bagi gelombang I atau pulang ke Tanah Air bagi gelombang II dengan aman, selamat, nyaman, dan tidak ada barang bawaan yang tertinggal.

Ini dilakukan dengan menyediakan transportasi dan makan yang memadai sesuai dengan kebutuhan jumlah jamaah haji, yang pada umumnya sekitar 9 sampai 11 bus untuk 1 Kloter. Memastikan semua koper besar, koper kecil, kursi roda, dan semua barang milik jamaah haji terbawa ke dalam mobil yang diatur sesuai dengan rombongan.

Terkesan sederhana, tapi praktik di lapangan tidak mudah. Jumlah jamaah haji yang pada umumnya sekitar 360-450 orang dalam 1 Kloter, berarti terdapat koper sekitar 720-900 koper besar dan kecil, yang berada di lantai 10 hingga lantai 2.

Menurunkan jumlah besar koper-koper ini dari lantai 10 ke lantai lobby dalam waktu yang sama bukan perkara mudah dengan fasilitasi lift yang sangat terbatas. Meskipun ini bukan tugas kami, tetapi dalam kenyataannya kami terlibat membantu koper-koper ini turun ke lantai lobby, yang selanjutnya diangkut ‘ummal ke mobil bus.

Hal yang tak kalah pentingnya bagi saya sebagai petugas haji layanan jamaah Lansia adalah melayani, membantu, dan mendampingi jamaah haji Lansia dengan beragam kebutuhannya. Intinya, bagaimana para Lansia ini tidak merasa sendirian, terlayani semua kebutuhannya, dan aman, nyaman, serta hashil maqshud.

Ini dilakukan sejak dari kamar hotel hingga jamaah Lansia ini naik mobil bus di kursi yang tepat, yakni terdepan atau terdekat dengan akses pintu mobil.

Ada banyak hal yang menarik untuk dicatat dalam kaitan dengan layanan jamaah haji Lansia ini. Pernah dalam suatu hotel, lift nya tidak berfungsi karena konslet listrik. Pada waktu yang sama, jamaah haji se-Kloter di hotel itu harus bergeser ke Mekah.

Para jamaah haji di hotel itu singgah di lantai 10, 9, 8, dan 7. Oleh karena lift tidak berfungsi, maka semua jamaah haji turun dari lantai 10, 9, 8, dan 7 menggunakan tangga darurat. Tua, muda, laki-laki dan perempuan, yang sehat, dan yang sakit, satu per satu menuruni tangga menuju lobby. Bisa terbayang betapa mereka harus berjuang untuk turun dengan selamat.

Nah, ada Lansia berkebutuhan khusus yang tidak bisa jalan sama sekali. Akhirnya, bapak ini digotong bareng-bareng dengan kursi rodanya dari lantai 10 sampai lantai lobby. Begitu juga para Lansia yang sudah berusia di atas 80 tahun, mereka harus dipapa menuruni tangga darurat.

Inilah sekelumit perjuangan kami sebagai petugas haji di Madinah, khususnya dalam layanan jamaah Lansia. []

Melayani dengan Kasih Sayang (2)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Saya adalah salah seorang yang ditunjuk sebagai Petugas Haji Layanan Jamaah Lansia non-Kloter. Sungguh suatu karunia yang harus disyukuri. Pertama, kerinduan saya selama 10 tahun tidak bermesraan dengan Ka’bah dan Raudlah terobati. Kedua, melayani Lansia adalah tantangan baru bagi saya. Saya adalah tipe orang yang suka mengahadapi tantangan baru.

Atas pertimbangan itu, ketika saya dipanggil untuk menjadi petugas haji layanan jamaah Lansia, tanpa berpikir panjang saya nyatakan siap. Dengan proses yang relatif cepat, akhirnya saya tiba di Haramayn.

Awalnya, saya ditugaskan di Mekah. Namun kemudian dipindah ke Madinah. Sehingga saya beruntung dalam waktu setengah bulan saya mengalami singgah di Mekah dan Madinah, sekaligus merasakan pengalaman yang berbeda dalam melayani jamaah haji Lansia di Mekah dan Madinah.

Bertugas di Mekah, hanya 2 hari saya jalani. Saya ditugaskan di Sektor Khusus Masjidil Haram. Hari pertama saya ditempatkan di tempat sa’i (mas’a) dan tempat thowaf (mathaf) lantai 2, di mana para jamaah Lansia melakukan thawaf dan sa’i dengan kursi roda.

Di situ, selama 12 jam, mulai jam 21.00 – 09.00 WSA saya bersama 3 orang petugas yang lain memantau, melayani, dan membantu jamaah haji Lansia yang menghadapi masalah.

Dalam waktu 12 jam, pada tanggal 14 Dzul Qo’dah 1444 H di mana jamaah haji Indonesia belum semuanya tiba di Mekah, saya menjumpai lebih dari 10 kasus yang dihadapi jamaah haji Lansia di mathaf dan mas’a.

Di antaranya adalah jamaah haji Lansia yang sedang thawaf dan sa’i dengan kursi roda dipindahtangankan dari pendorong awal ke pendorong kedua. KBHIU atau Karom/Karu sudah membayar pendorong dari muqimin (orang Indonesia yang tinggal di Saudi) atau pihak lain. Lalu, dalam banyak kasus orang ini sedang mendorong jamaah Lansia, namun tiba-tiba ditangkap oleh ‘askar (petugas keamaan Masjidil Haram) karena bukan pendorong yang legal. Akhirnya, kursi roda jamaah haji Lansia ini diambil alih dan diteruskan oleh pendorong legal yang berseragam pakaian Arab berrompi dan bertopi, hingga 7 kali putaran sebagaimana seharusnya.

Nah, ketika sudah selesai 7 kali putaran ini, pendorong terakhir minta bayaran (ujrah). Di sini jamaah haji Lansia ada beberapa kasus.

Pertama, tidak memiliki uang yang cukup. Ada yang memang tidak membawa dompet, ada yang jumlah uangnya kurang, dan ada juga yang dompetnya hilang. Timbul masalah.

Kedua, jamaah haji Lansia memiliki uang, tetapi tidak bisa berbicara bahasa Arab untuk negosiasi upah yang harus dibayarkan. Bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat, tetapi tidak terjadi kesepakatan jumlah upah yang harus dibayarkan. Baginya terlalu mahal. Juga timbul masalah.

Menghadapi kasus ini, jika bisa diselesaikan dengan negosiasi melalui musyawarah mufakat, maka masalah rampung. Jika untuk menyelesaikannya harus telepon Ketua Kloter, maka kami telepon Ketua Kloter. Intinya, bagaimana jamaah haji Lansia tidak sendirian, ada yang menemani, dan masalah yang dihadapi terselesaikan secara damai, ittifaq, dan taradliy.

Kasus lain yang ditemui adalah jamaah haji Lansia berkursi roda, tetapi tidak ada yang mendorong, ntah tidak menyewa pendorong atau ditinggal pergi oleh pendorongnya. Intinya, dia sendirian tanpa ada yang mendorong.

Menghadapi kasus ini, kami gantian mendorong kursi roda jamaah haji Lansia yang akan thawaf dan sa’i hingga tahallul, atau kami carikan pendorong legal profesional yang siap mendorong hingga tahallul.

Kasus yang tidak kalah banyaknya adalah jamaah haji Lansia tidak tahu ke mana harus pulang ke hotelnya, dan melalui terminal mana menuju. Dia sendirian di lantai 2 mas’a. Ditanya hotel tempat tinggalnya, tidak tahu. Melalui terminal mana naik bus “sholawat”, tidak tahu, Kloter berapa juga tidak tahu.

—–
Bus “sholawat” adalah suatu istilah sejumlah bus dengan nomor punggung yang berbeda-beda yang telah disediakan Pemerintah Indonesia untuk mengantarkan jamaah haji Indonesia dari hotel tempat tinggal jamaah haji ke Masjidil Haram. Bus ini stand by 24 jam.
—–

Menghadapi kasus yang terakhir ini, kami cek gelangnya. Di situ ada nama embarkasi dan kloternya. Juga kami cek tanda pengenalnya. Melalui aplikasi Haji Pintar yang dibuat Kemenag bisa diketahui nama, nomor passport, embarkasi berangkat, kloter berapa, di hotel mana dia tinggal di Mekah dan Madinah, juga diketahui nama Ketua Kloter, Ketua Rombongan, bahkan diketahui kapan dia akan kembali ke Tanah Air.

Cukup dengan menscan barkode via aplikasi Haji Pintar, kami bisa menemukan semua identitas jamaah haji. Di sinilah pentingnya gelang terbuat besi yang dipakai, dan identitas jamaah haji. Jangan sampai tidak melekat pada jamaah haji Indonesia.

Setelah diketahui semua informasi yang kami butuhkan, tentu saja kami mengantarnya hingga ke terminal bus di mana dia menuju hotelnya. Di setiap terminal bus juga terdapat banyak petugas haji. Tidak sedikit, petugas haji di terminal mengantarkan jamaah haji Lansia ini hingga ke hotelnya.

Ada lagi kasus yang dijumpai, yaitu jamaah haji Lansia kelelahan dan dehidrasi. Dalam kasus ini, kami mencarikan kursi roda, memberinya minum, dan segera berkoordinasi dengan EMT (Emergency Medical Team) petugas kesehatan.

Ini sejumlah kasus yang ditemui di mathaf dan mas’a.

Berbeda lagi kasus-kasus yang ditemui di halaman Masjidil Haram.

Kebetulan pada hari kedua di Mekah, saya ditugaskan oleh Kepala Sektor Khusus untuk memantau, membantu, dan melayani jamaah haji di depan Zamzam Tower (depan WC 3), halaman Masjidil Haram.

Kenapa di sini? Karena di tempat inilah, pintu masuk terdekat untuk melakukan thawaf, pintu keluar dari Masjidil Haram, dan banyak jamaah haji keliru dan kebingungan menentukan arah terminal bus.

Sama dengan hari pertama, pada hari kedua ini saya ditugaskan malam hari juga, yakni sejak jam 21.00-09.00 WSA. Bersama 3 petugas yang lain, kami berbagi siapa berada di pojok mana dari halaman depan Zamzam Tower ini.

Di tempat ini, kasus-kasus jamaah haji, terutama jamaah haji Lansia, yang paling banyak dijumpai adalah kebingungan menemukan arah terminal bus yang dituju.

Di sekitar Masjidil Haram, terdapat 3 terminal bus di mana bus “sholawat” stand by mengantarkan jamaah haji 24 jam dari terminal Masjidil Haram ke hotel tempat tinggal. Yaitu, terminal Syib Amir, Bab Ali, dan Jiyad. Tiga terminal ini berada di tiga arah kompas yang berbeda.

Menghadapi kasus ini, kami menunjukkan arah atau bila diperlukan mengantarkan jamaah hingga ke terminal yang dimaksud. Bila jamaah haji Lansia dan dibutuhkan kursi roda karena kelelahan atau jauhnya jalan kaki, kami mencarikan kursi roda dan mendorongnya hingga ke terminal.

Selain kebingungan menentukan arah terminal, juga kebanyakan jamaah haji terutama yang Lansia tidak tahu tempat tinggalnya. Dia tertinggal dan terpisah dari rombongan jamaah thawaf dan sa’i atau rombongan sholat maktubah. Ditanya tinggal di mana, tidak tahu. Kloter berapa tidak tahu.

Dalam menghadapi kasus ini, mitigasinya sama dengan kasus sejenis yang terjadi di mas’a.

Ada lagi kasus istri terpisah dari suaminya atau suami terpisah dari istrinya atau anak dari orang tuanya atau dengan teman rombongan jamaahnya. Mereka saling mencari dan kebingungan menemukannya.

Menghadapi kasus ini, kami berkoordinasi dengan sesama petugas di Sektor Khusus untuk menemukan orang yang terpisah ini dengan cara memfoto yang bersangkutan dan identitas yang diperlukan. Lalu, diunggah ke grup Sektor Khusus.

Cara lain, kami menelpon yang bersangkutan bila membawa HP, atau berkoordinasi dengan ketua Kloter dan ketua rombogannya.

Dalam banyak kasus, masalah ini teratasi dan ditemukan hingga akhirnya mereka bertemu dan kembali bersama keluarga atau rombongannya.

Inilah sejumlah kasus yang saya temui saat saya bertugas di sektor Khusus Masjidil Haram selama dua hari pertama kedatangan di Mekah. []