(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Melayani dengan Kasih Sayang (6)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Episode berikutnya adalah menjelang dan masa pelaksanaan haji. Setelah seluruh jamaah haji tidak ada yang singgah di Madinah, karena harus melaksanakan ibadah haji di Mekah, maka kami pun bergeser ke Mekah. Mekah tentu beda dengan Madinah. Tantangan baru pun dimulai.

Selama di Mekah, posisi petugas Daker Madinah adalah supporting system atas kerja-kerja Daker Mekah.

Sebelum masuk masa Armina/Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), saya ditugaskan di Sektor Khusus Masjidil Haram. Persisnya di depan Zamzam Tower atau WC 3.

Selama beberapa hari, kami bertugas mengawasi, melayani, dan membantu jamaah haji yang tersesat jalan, terpisah dari rombongan, dan kelelahan setelah muter-muter tidak menemukan jalan pulang.

Tugas ini sama persis dengan tugas saya selama dua hari pertama kedatanganku di Mekah. Tugas ini sudah dijelaskan panjang lebar pada bagian pertama dari serial tulisan ini.

*

Masuklah masa haji. Hari tarwiyah 8 Dzul Hijjah dan hari Arafah 9 Dzul Hijjah adalah saat jamaah haji memulai ibadah, memakai pakaian ihram dan niat haji dari miqat.

Menghadapi Armina/Armuzna ini, tugas utama para petugas haji di kapling-kapling. Petugas haji Daker Bandara ditugaskan di Arafah. Petugas haji Daker Mekah ditugaskan di Muzdalifah. Sementara kami dari Daker Madinah ditugaskan di Mina. Meski begitu, dalam pelaksanaannya kita saling membantu dan memperkuat.

Di sini, saya tidak akan cerita penugasan di Arafah atau Muzdalifah, karena itu bukan tugas utama kami. Saya akan bercerita penugasan di Mina yang menjadi core duty kami.

*

Untuk jamaah haji Indonesia pada umumnya proses ibadah haji dimulai dari Arafah pada tanggal 9 Dzul Hijjah. Jamaah haji sudah tiba di Arafah sejak malam 9 Dzul Hijjah, dan berada di Arafah sampai habis maghrib. Mereka wukuf di Arafah sejak dhuhur hingga malam hari.

Agenda utama wukuf di Arafah adalah mendengarkan khutbah wukuf, sholat dhuhur dan ashar di qashar jama’ taqdim, lalu berdoa dan taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah).

Habis maghrib, jamaah haji bergerak ke Muzdalifah diangkut dengan bus yang telah disediakan Masyariq. Mabit di Muzdalifah hingga tengah malam, jam 00 lewat.

Setelah mabit di Muzdalifah, jamaah bergerak ke Mina diangkut dengan bus untuk lontar jamrah aqobah pada tanggal 10 Dzul Hijjah, lalu mabit di Mina hingga tgl 12 Dzul Hijjah bagi yang memilih nafar awwal, dan 13 Dzul Hijjah bagi yang memutuskan nafar tsani.

Kegiatan utama di Mina selama 3 atau 4 hari adalah mabit (bermalam) dan lontar jamrah ula/shughra, wustha, dan aqobah/kubra setiap hari pada tanggal 11 dan 12 Dzul Hijjah bagi nafar awwal, dan hingga 13 Dzul Hijjah bagi nafar tsani.

Nah, kami akan bercerita bagaimana pelayanan yang kami lakukan selama di Mina, sejak jamaah haji tiba hingga meninggalkan Mina menuju Mekah.

*

Sejak jam 00 dini hari tanggal 10 Dzul Hijjah, kami stand by di Maktab tempat tugas kami. Kami cek dan kontrol persiapan Maktab untuk melayani mabit jamaah haji. Tidak hanya tenda dan kasur bantalnya, tetapi juga AC, dapur, kamar mandi, mushalla, klinik, minum, dan fasilitas lainnya.

Semuanya dicek berdasarkan standar kelayakan dan ketercukupan jumlah jamaah haji yang akan masuk ke Maktab tersebut.

Hasilnya ternyata beda-beda. Ada maktab yang siap banget, lengkap dengan informasi yang memadai tentang peta Maktab, struktur, jadwal makan, jadwal lontar jamrah, dll. Tapi juga terdapat Maktab yang belum siap, baru diberesi malam itu, bahkan tidak ada info yang memadai terkait Maktab tersebut dan info yang dibutuhkan jamaah haji.

Di sinilah fungsi kami hadir untuk memastikan kelayakan dan ketercukupan semua fasilitas yang dibutuhkan. Namun dalam praktiknya tidak mudah, banyak hal yang menjadi kendala. Akhirnya, kami lakukan semaksimal yang bisa kami lakukan.

Benar terjadi, hampir semua tenda tidak memadai untuk menampung seluruh jamaah haji. Meskipun jumlah kasur yang disediakan sesuai dengan jumlah jamaah haji, tetapi luas tenda tidak memadai.

Mitigasinya, tenda untuk mushalla, tenda untuk ‘ummal, dan tenda yang kosong diubah fungsi untuk penginapan jamaah haji.

Ini pun sebagian maktab masih belum memadai, karena memang jumlah jamaah haji tahun ini kuota 100% plus 8000 jamaah tambahan. Jumlah jamaah haji bertambah, sementara tempat di Mina tidak bertambah dan tidak mungkin bertambah kecuali meninggi (ntah kapan akan ada bangunan tingkat di Mina).

*

Kasus-kasus jamaah Lansia mulai muncul ketika mereka melontar jamrah aqobah pada 10 Dzul Hijjah, atau jamrah ula, wustha, dan aqobah pada 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah. Pada umumnya terjadi kelelahan karena jarak tempuh dari Maktab ke Jamarat yang sangat jauh, rerata 8 km pulang pergi, bahkan bisa lebih tergantung posisi geografis maktabnya.

Selain kasus-kasus kelelahan, kasus lain yang banyak ditemui adalah jamaah haji yang tersesat karena ketidaktahuan posisi maktabnya.

Banyak sekali jamaah haji tersesat jalan, baik di dalam maktabnya sendiri mencari tenda kloternya atau di jalan-jalan mencari nomor maktabnya. Ini terjadi tidak hanya pada jamaah Lansia, tetapi juga pada jamaah muda. Ketersesatan jamaah Lansia memang mendominasi, dan akibatnya lebih rentan ketimbang jamaah non Lansia.

Ada banyak sebab ketersesatan jalan ini terjadi. Pertama, dia terpisah dari rombongan setelah lontar jamrah atau keluar bersama. Tidak punya peta atau tidak paham baca peta, tidak bawa atau tidak punya HP atau tidak bisa mengoperasikan HP, akhirnya tersesat.

Kedua, keluar dari toilet atau kamar mandi. Dia bingung, lalu jalan kaki mengikuti feelingnya, akhirnya tersesat jauh.

Ketiga, adanya kesamaan atau kemiripan pada bentuk tenda, pintu gerbang maktab, dan bangunan toilet menyebabkan jamaah sulit mengenali maktab dan tendanya.

Keempat, jamaah haji tidak diedukasi dan tidak dilengkapi peta geografis maktab-maktab Indonesia dan tenda-tenda dalam satu maktab.

Kelima, meskipun hari ini sudah ada Google Map dan GPS, tetapi banyak jamaah haji tidak bisa mengoperasikan atau tidak memanfaatkan fasilitas digital ini. Bahkan sekadar telp kepada temannya pun tidak dilakukan. Ini terjadi, karena beberapa jamaah haji selain tidak memiliki nomor HP Ketua Kloter, Ketua Rombongan, atau Ketua Regu, tidak bawa atau tidak punya HP, juga tidak mengaktifkan jaringan internet lokal sini atau roaming internasional.

Kerentanan sesat jalan diperparah dengan suhu cuaca di Mina yang saat itu bisa mencapai 46% Celcius. Kondisi ini menyebabkan jamaah haji yang tersesat semakin rentan, dan menyulitkan petugas untuk mengantarkan tanpa ada alat transfortasi yang memadai.

Nah, menghadapi kasus-kasus ini mitigasi yang kami lakukan adalah: pertama, jika jamaah yang tersesat adalah Lansia dan jamaah berkebutuhan khusus, maka kami antarkan langsung hingga ke maktab atau tendanya, baik dengan jalan kaki (di bawah terik matahari) maupun alat transportasi (meskipun jarang dijumpai).

Kedua, jika mereka tampak sehat dan kuat, kami cukup tunjukkan arah dan berikan peta digital untuk panduan jalannya.

Oleh karena di setiap pojok krusial ada petugas yang stand by, tidak jarang –meskipun tidak selalu– kami menggunakan sistem estafet untuk mengantarkan jamaah.

Karena sangking banyaknya jamaah yang tersesat jalan, kami keluar dikit dari tenda saja hanya sekadar ke kamar mandi atau jalan dikit, pasti akan me(di)temui jamaah tersesat dan kami harus melayaninya. Begitu tiap hari selama 4 hari di Mina.

*

Ada cerita menarik saat ada jamaah Lansia yang karena kelelahan tergeletak di jalan raya ke arah pulang dari Jamarat.

Persisnya, saya dan Pak Ihsan –petugas pembimbing ibadah– dalam perjalanan pulang habis lontar jamrah aqobah tanggal 10 Dzul Hijjah menjelang maghrib. Tiba-tiba di tengah jalan terdapat seorang kakek jamaah haji dari embarkasi Surabaya (berusia sekitar 85 tahun) yang tergeletak tiduran di bahu tengah jalan raya.

Kami kaget, terhentak, dan terhenti. Kami dekati dan tanya ke orang sekitar yang ada di situ. Ternyata dia kelelahan, tidak kuat jalan, pusing, lemas, dan akhirnya menidurkan diri di bahu tengah jalan pulang dari Jamarat ke penginapan.

Selain karena faktor Lansia, ini terjadi karena kelelahan yang sangat atas perjalanan maraton dari Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Sangat mungkin istirahat tidak cukup, bahkan tidak sempat istirahat yang berkualitas sama sekali. Untungnya, saat itu matahari sudah hampir terbenam, sehingga cuaca tidak begitu panas.

Akhirnya, kami telp berbagai perangkat petugas haji yang terkait. Hasilnya, ambulance tidak bisa melintas, kursi roda sulit, sewa kursi roda tidak mau hingga ke Maktab 40.

Setelah kakek ini minum dan makan roti yang diberikan jamaah yang lewat, dan dengan sisa tenaga yang ada, saya dan Pak Ihsan akhirnya memutuskan untuk memapa kakek ini berpegangan bahu saya dan bahu Pak Ihsan.

Meter per-meter kita tapaki. Dalam setiap 300 m, istirahat untuk mengambil nafas dan minum. Begitu seterusnya hingga sampai ke Maktab 40, yang kurang lebih berjarak 4 km dari tempat tidur sang kakek.

Menariknya, selama perjalanan memapa kakek ini, kami juga ditanya puluhan jamaah yang tersesat jalan. Sebagian kita antar jika satu arah, sebagian lagi kita beri petunjuk jalan saja. Sehingga dalam waktu 3 jam, kami baru bisa menyerahkan sang kakek ini kepada rombongan di Kloternya. []

Melayani dengak Kasih Sayang (5)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Deskripsi sebelumnya yang sangat praktis dan detil menjelaskan bahwa ibadah ternyata tidak bisa berdiri sendiri, khususnya ibadah haji. Hubungan kita dengan Tuhan bukan semata urusan personal, tetapi juga menyangkut aspek sosial kemanusiaan, ekonomi, dan politik.

Sebagaimana diketahui, ibadah haji dalam kenyataannya tidak hanya mengandalkan kemampuan fisik, spiritual, mental, dan ekonomi, tetapi juga menyangkut hubungan antarnegara. Dalam konteks ini, sudah pasti ibadah haji membutuhkan intervensi negara. Harus ada kebijakan politik yang memayunginya. Dibutuhkan birokrasi yang menggerakkannya, apalagi ibadah ini dijalankan secara kolektif nasional dan internasional.

Oleh karena dilakukan bersama jutaan jamaah haji sedunia, yang semakin tahun semakin bertambah, maka infrastruktur pun disesuaikan. Perubahan-perubahan, inovasi, dan penambahan tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi kebutuhan. Ini akan berpengaruh pada substansi ibadah yang disyariatkan.

Tempat thawaf (mathaf), misalnya, sekarang tidak hanya di dekat Ka’bah yang selama thawaf bisa melihatnya, tetapi sekarang sudah berada di atas Ka’bah, lantai 2 dan lantai 3, di luar lingkaran Ka’bah yang kadang selama thawaf tidak pernah melihatnya.

Begitu juga tempat sa’i (mas’a), sekarang sudah dikembangkan di lantai 2 dan lantai 3, yang ketika menuju bukit shofa dan marwa sudah tidak lagi menginjak bukitnya. Hanya memutar di atas bukit shafa dan marwa.

Para jamaah haji pun, ketika melaksanakan thawaf dan sa’i tidak hanya jalan kaki yang membutuhkan energi tersendiri mengelilingi Ka’bah 7 kali putaran, dan 7 kali lari-lari kecil shafa-marwa. Sekarang banyak jamaah haji —yang berkebutuhan khusus– menggunakan kursi roda yang didorong oleh pendorong profesional, dan bahkan menggunakan scooter yang menggunakan mesin.

Hal yang sama juga di Jamarat. Tempat lempar jumrah (ula, wustha, dan ‘aqabah) sekarang sudah berlantai 6. Luar biasa perubahan dan inovasi yang dilakukan karena kebutuhan jamaah haji yang begitu besar.

Ini dari sisi wasilah penyelenggaraannya. Tentu berlaku kaidah, li al-wasa’il hukm al-maqashid.

Bagi saya, sungguh sangat menarik menjadi petugas haji pada tahun yang penuh dengan tantangan ini. Tidak saja soal ibadah dan politik, tetapi juga pergulatan kemanusiaan. Bukan saja menjalin hubungan kita dengan Allah, tetapi juga menselaraskan hubungan kita sesama manusia.

Lansia tentu saja menjadi faktor determinasi distingtif haji tahun ini. Bukan hanya petugas, tetapi juga sesama jamaah haji diuji sensitifitas kemanusiaannya dalam menjalankan ibadah.

Bagaimana hukum praktik ibadah (haji) yang mengabaikan kemanusiaan? Ini pertanyaan penting.

Banyak orang demi mementingkan limpahan pahala atau kesahan ibadah, rela mengesampingkan aspek kemanusiaan. Misalnya, demi sholat berjamaah di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, seorang Lansia ditinggal sendirian di kamar —yang berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi.

Banyak orang berpikir karena ketetapan fiqhnya bahwa kesahan ibadah (haji) adalah terpenuhinya syarat dan rukun. Kemanusiaan adalah hal lain, tidak terkait dengan ibadah. Akibatnya, demi peroleh kesahan ibadah Lansia yang memang membutuhkan sentuhan kemanusiaan orang lain dalam banyak kasus terabaikan, bahkan dalam jurang bahaya.

Ini tampaknya membutuhkan formulasi fiqh baru tentang kesahan dan kesempurnaan ibadah dalam pertimbangan kemanusiaan dan kemaslahatan, khususnya Lansia yang memang membutuhkan orang lain. []

Melayani dengan Kasih Sayang (4)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Tugas lain yang kami lakukan di Madinah adalah melayani, membantu, dan memastikan jamaah haji setelah 8 hari tinggal di Madinah dapat bergeser ke Mekah bagi gelombang I atau pulang ke Tanah Air bagi gelombang II dengan aman, selamat, nyaman, dan tidak ada barang bawaan yang tertinggal.

Ini dilakukan dengan menyediakan transportasi dan makan yang memadai sesuai dengan kebutuhan jumlah jamaah haji, yang pada umumnya sekitar 9 sampai 11 bus untuk 1 Kloter. Memastikan semua koper besar, koper kecil, kursi roda, dan semua barang milik jamaah haji terbawa ke dalam mobil yang diatur sesuai dengan rombongan.

Terkesan sederhana, tapi praktik di lapangan tidak mudah. Jumlah jamaah haji yang pada umumnya sekitar 360-450 orang dalam 1 Kloter, berarti terdapat koper sekitar 720-900 koper besar dan kecil, yang berada di lantai 10 hingga lantai 2.

Menurunkan jumlah besar koper-koper ini dari lantai 10 ke lantai lobby dalam waktu yang sama bukan perkara mudah dengan fasilitasi lift yang sangat terbatas. Meskipun ini bukan tugas kami, tetapi dalam kenyataannya kami terlibat membantu koper-koper ini turun ke lantai lobby, yang selanjutnya diangkut ‘ummal ke mobil bus.

Hal yang tak kalah pentingnya bagi saya sebagai petugas haji layanan jamaah Lansia adalah melayani, membantu, dan mendampingi jamaah haji Lansia dengan beragam kebutuhannya. Intinya, bagaimana para Lansia ini tidak merasa sendirian, terlayani semua kebutuhannya, dan aman, nyaman, serta hashil maqshud.

Ini dilakukan sejak dari kamar hotel hingga jamaah Lansia ini naik mobil bus di kursi yang tepat, yakni terdepan atau terdekat dengan akses pintu mobil.

Ada banyak hal yang menarik untuk dicatat dalam kaitan dengan layanan jamaah haji Lansia ini. Pernah dalam suatu hotel, lift nya tidak berfungsi karena konslet listrik. Pada waktu yang sama, jamaah haji se-Kloter di hotel itu harus bergeser ke Mekah.

Para jamaah haji di hotel itu singgah di lantai 10, 9, 8, dan 7. Oleh karena lift tidak berfungsi, maka semua jamaah haji turun dari lantai 10, 9, 8, dan 7 menggunakan tangga darurat. Tua, muda, laki-laki dan perempuan, yang sehat, dan yang sakit, satu per satu menuruni tangga menuju lobby. Bisa terbayang betapa mereka harus berjuang untuk turun dengan selamat.

Nah, ada Lansia berkebutuhan khusus yang tidak bisa jalan sama sekali. Akhirnya, bapak ini digotong bareng-bareng dengan kursi rodanya dari lantai 10 sampai lantai lobby. Begitu juga para Lansia yang sudah berusia di atas 80 tahun, mereka harus dipapa menuruni tangga darurat.

Inilah sekelumit perjuangan kami sebagai petugas haji di Madinah, khususnya dalam layanan jamaah Lansia. []

Melayani dengan Kasih Sayang (3)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Hari berikutnya, saya bergeser ke Madinah. Di daerah kerja Madinah, petugas haji dibagi ke dalam 6 sektor. 5 sektor melayani dan menangani ribuan jamaah haji yang menginap di sejumlah hotel sekitar Masjid Nabawi, dan 1 sektor khusus yang bertugas mengawasi, melayani, dan membantu jamaah haji di sejumlah titik krusial di lingkungan Masjid Nabawi.

Dalam menjalankan tugas, saya ditempatkan di Sektor III Madinah, yang wilayah kerjanya di sebelah barat Masjid Nabawi.

Sektor III Madinah ini menangani, memantau, melayani, dan membantu jamaah haji yang singgah di 25 hotel sekitar Masjid Nabawi.

Tugas kami adalah sebelum rangkaian ibadah haji dimulai, menerima kedatangan jamaah haji gelombang I dari Tanah Air ke Madinah, dan setelah rangkaian haji terlaksana, menerima jamaah haji gelombang II yang datang dari Mekah ke Madinah.

Jamaah haji Indonesia tinggal di Madinah selama 8 hari. Tujuan utamnaya adalah agar bisa mengejar “arbain”. Yakni, sholat berjamaah di Masjid Nabawi dalam 40 waktu sholat.

Sembari mencapai “arbain”, para jamaah haji selama di Madinah pada umumnya melakukan ziarah ke maqbaroh Kanjeng Nabi Muhammad SAW, singgah di Raudlah, ziarah ke maqbaroh para sahabat Nabi SAW di pemakaman Baqi’, ziarah ke tempat-tempat bersejarah, seperti Masjid Quba, Masjid Qiblatain, jabal Uhud, dan lain-lain.

Setelah 8 hari di Madinah, para jamaah haji gelombang I kita dorong berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah. Dalam perjalanan ke Mekah, mereka melakukan niat ihram di miqot Bir Ali.

Jamaah haji gelombang II, setelah 8 hari di Madinah, kita dorong kembali ke Tanah Air, naik pesawat terbang melalui Bandara Madinah atau Jeddah.

Nah, tugas kami adalah menyambut kedatangan para jamaah haji di Madinah dan mengantarkan para jamaah haji bergeser ke Mekah atau pulang ke Tanah Air.

Dalam penyambutan kedatangan jamaah haji, banyak hal yang harus dilakukan. Di antaranya adalah memastikan ketersediaan dan kesiapan kamar hotel untuk satu kloter dalam sekali kedatangan, konsumsi mereka saat datang, memastikan koper besar, koper kecil, kursi roda, dan barang-barang bawaan jamaah haji aman dan tidak hilang.

Nah, petugas haji layanan jamaah Lansia di sini memastikan para Lansia, terutama yang berkebutuhan khusus, terlayani dengan baik. Jika butuh kursi roda dan didorong, disediakan kursi roda dan didorong hingga ke kamar hotel. Jika harus dituntun hingga ke kamar hotel, kita tuntun dengan ramah. Jika harus digendong, kita gendong. Intinya, para jamaah haji Lansia dan disabilitas harus terlayani sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Pelayanan terhadap Lansia dan disabilitas tidak hanya ini, tetapi juga kita memastikan mereka didahulukan dalam naik lift, masuk kamar, peroleh makanan, atau kalaupun harus menunggu bisa duduk dengan nyaman.

Demikian seterusnya hingga seluruh jamaah haji, termasuk Lansia dan disabilitas, sudah menemlati kamar masing-masing lengkap dengan koper besar, koper kecil, dan barang bawaan lainnya.

Ada prioritas lantai hotel untuk para jamaah haji Lansia dan disabilitas, yaitu ditempatkan di lantai paling bawah dan dekat dengan lift untuk memudahkan akses keluar masuk hotel.

Untuk konteks ini, saya ingin bercerita beberapa kasus layanan Lansia dan disabilitas dalam penyambutan kedatangan mereka.

Kasus yang paling banyak adalah kebutuhan mereka terhadap kursi roda dan mendorong mereka hingga ke kamar hotel. Ini sudah biasa kami lakukan.

Kasus lain adalah Lansia yang berkebutuhan khusus, ada yang tidak bisa berjalan sama sekali dan ada yang tidak bisa melihat sama sekali.

Terhadap mereka yang tidak bisa berjalan sama sekali, kami gendong dari atas mobil bus hingga ke kursi roda. Lalu, kursi roda didorong hingga ke kamar hotel.

Adapun terhadap yang tidak bisa melihat sama sekali, kami menuntunnya dengan penuh kecermatan untuk menapaki tangga mobil dari atas hingga ke kursi roda. Setelah duduk di kursi roda, kami dorong hingga ke kamar hotel.

Ini sejumlah pelayanan yang kami lakukan pada saat jamaah haji tiba di Madinah, baik gelombang I maupun gelombang II.

Perlu dicatat, kedatangan mereka itu berjumlah antara 360 hingga 450 orang jamaah haji dalam satu Kloter.

Dalam satu hari, bisa saja datang 10 Kloter pada 1 Sektor. Datang dengan waktu yang beragam, kadang siang hari, ada juga yang datang jam 1 atau 3 dini hari.

Berapapun kloter jamaah haji datang dalam satu hari, dan jam berapapun mereka datang di Madinah, kami petugas haji selalu siap melayani mereka, dan tidak boleh telat sedetik pun. []

Melayani dengan Kasih Sayang (2)

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)

ISIF CIREBON – Saya adalah salah seorang yang ditunjuk sebagai Petugas Haji Layanan Jamaah Lansia non-Kloter. Sungguh suatu karunia yang harus disyukuri. Pertama, kerinduan saya selama 10 tahun tidak bermesraan dengan Ka’bah dan Raudlah terobati. Kedua, melayani Lansia adalah tantangan baru bagi saya. Saya adalah tipe orang yang suka mengahadapi tantangan baru.

Atas pertimbangan itu, ketika saya dipanggil untuk menjadi petugas haji layanan jamaah Lansia, tanpa berpikir panjang saya nyatakan siap. Dengan proses yang relatif cepat, akhirnya saya tiba di Haramayn.

Awalnya, saya ditugaskan di Mekah. Namun kemudian dipindah ke Madinah. Sehingga saya beruntung dalam waktu setengah bulan saya mengalami singgah di Mekah dan Madinah, sekaligus merasakan pengalaman yang berbeda dalam melayani jamaah haji Lansia di Mekah dan Madinah.

Bertugas di Mekah, hanya 2 hari saya jalani. Saya ditugaskan di Sektor Khusus Masjidil Haram. Hari pertama saya ditempatkan di tempat sa’i (mas’a) dan tempat thowaf (mathaf) lantai 2, di mana para jamaah Lansia melakukan thawaf dan sa’i dengan kursi roda.

Di situ, selama 12 jam, mulai jam 21.00 – 09.00 WSA saya bersama 3 orang petugas yang lain memantau, melayani, dan membantu jamaah haji Lansia yang menghadapi masalah.

Dalam waktu 12 jam, pada tanggal 14 Dzul Qo’dah 1444 H di mana jamaah haji Indonesia belum semuanya tiba di Mekah, saya menjumpai lebih dari 10 kasus yang dihadapi jamaah haji Lansia di mathaf dan mas’a.

Di antaranya adalah jamaah haji Lansia yang sedang thawaf dan sa’i dengan kursi roda dipindahtangankan dari pendorong awal ke pendorong kedua. KBHIU atau Karom/Karu sudah membayar pendorong dari muqimin (orang Indonesia yang tinggal di Saudi) atau pihak lain. Lalu, dalam banyak kasus orang ini sedang mendorong jamaah Lansia, namun tiba-tiba ditangkap oleh ‘askar (petugas keamaan Masjidil Haram) karena bukan pendorong yang legal. Akhirnya, kursi roda jamaah haji Lansia ini diambil alih dan diteruskan oleh pendorong legal yang berseragam pakaian Arab berrompi dan bertopi, hingga 7 kali putaran sebagaimana seharusnya.

Nah, ketika sudah selesai 7 kali putaran ini, pendorong terakhir minta bayaran (ujrah). Di sini jamaah haji Lansia ada beberapa kasus.

Pertama, tidak memiliki uang yang cukup. Ada yang memang tidak membawa dompet, ada yang jumlah uangnya kurang, dan ada juga yang dompetnya hilang. Timbul masalah.

Kedua, jamaah haji Lansia memiliki uang, tetapi tidak bisa berbicara bahasa Arab untuk negosiasi upah yang harus dibayarkan. Bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat, tetapi tidak terjadi kesepakatan jumlah upah yang harus dibayarkan. Baginya terlalu mahal. Juga timbul masalah.

Menghadapi kasus ini, jika bisa diselesaikan dengan negosiasi melalui musyawarah mufakat, maka masalah rampung. Jika untuk menyelesaikannya harus telepon Ketua Kloter, maka kami telepon Ketua Kloter. Intinya, bagaimana jamaah haji Lansia tidak sendirian, ada yang menemani, dan masalah yang dihadapi terselesaikan secara damai, ittifaq, dan taradliy.

Kasus lain yang ditemui adalah jamaah haji Lansia berkursi roda, tetapi tidak ada yang mendorong, ntah tidak menyewa pendorong atau ditinggal pergi oleh pendorongnya. Intinya, dia sendirian tanpa ada yang mendorong.

Menghadapi kasus ini, kami gantian mendorong kursi roda jamaah haji Lansia yang akan thawaf dan sa’i hingga tahallul, atau kami carikan pendorong legal profesional yang siap mendorong hingga tahallul.

Kasus yang tidak kalah banyaknya adalah jamaah haji Lansia tidak tahu ke mana harus pulang ke hotelnya, dan melalui terminal mana menuju. Dia sendirian di lantai 2 mas’a. Ditanya hotel tempat tinggalnya, tidak tahu. Melalui terminal mana naik bus “sholawat”, tidak tahu, Kloter berapa juga tidak tahu.

—–
Bus “sholawat” adalah suatu istilah sejumlah bus dengan nomor punggung yang berbeda-beda yang telah disediakan Pemerintah Indonesia untuk mengantarkan jamaah haji Indonesia dari hotel tempat tinggal jamaah haji ke Masjidil Haram. Bus ini stand by 24 jam.
—–

Menghadapi kasus yang terakhir ini, kami cek gelangnya. Di situ ada nama embarkasi dan kloternya. Juga kami cek tanda pengenalnya. Melalui aplikasi Haji Pintar yang dibuat Kemenag bisa diketahui nama, nomor passport, embarkasi berangkat, kloter berapa, di hotel mana dia tinggal di Mekah dan Madinah, juga diketahui nama Ketua Kloter, Ketua Rombongan, bahkan diketahui kapan dia akan kembali ke Tanah Air.

Cukup dengan menscan barkode via aplikasi Haji Pintar, kami bisa menemukan semua identitas jamaah haji. Di sinilah pentingnya gelang terbuat besi yang dipakai, dan identitas jamaah haji. Jangan sampai tidak melekat pada jamaah haji Indonesia.

Setelah diketahui semua informasi yang kami butuhkan, tentu saja kami mengantarnya hingga ke terminal bus di mana dia menuju hotelnya. Di setiap terminal bus juga terdapat banyak petugas haji. Tidak sedikit, petugas haji di terminal mengantarkan jamaah haji Lansia ini hingga ke hotelnya.

Ada lagi kasus yang dijumpai, yaitu jamaah haji Lansia kelelahan dan dehidrasi. Dalam kasus ini, kami mencarikan kursi roda, memberinya minum, dan segera berkoordinasi dengan EMT (Emergency Medical Team) petugas kesehatan.

Ini sejumlah kasus yang ditemui di mathaf dan mas’a.

Berbeda lagi kasus-kasus yang ditemui di halaman Masjidil Haram.

Kebetulan pada hari kedua di Mekah, saya ditugaskan oleh Kepala Sektor Khusus untuk memantau, membantu, dan melayani jamaah haji di depan Zamzam Tower (depan WC 3), halaman Masjidil Haram.

Kenapa di sini? Karena di tempat inilah, pintu masuk terdekat untuk melakukan thawaf, pintu keluar dari Masjidil Haram, dan banyak jamaah haji keliru dan kebingungan menentukan arah terminal bus.

Sama dengan hari pertama, pada hari kedua ini saya ditugaskan malam hari juga, yakni sejak jam 21.00-09.00 WSA. Bersama 3 petugas yang lain, kami berbagi siapa berada di pojok mana dari halaman depan Zamzam Tower ini.

Di tempat ini, kasus-kasus jamaah haji, terutama jamaah haji Lansia, yang paling banyak dijumpai adalah kebingungan menemukan arah terminal bus yang dituju.

Di sekitar Masjidil Haram, terdapat 3 terminal bus di mana bus “sholawat” stand by mengantarkan jamaah haji 24 jam dari terminal Masjidil Haram ke hotel tempat tinggal. Yaitu, terminal Syib Amir, Bab Ali, dan Jiyad. Tiga terminal ini berada di tiga arah kompas yang berbeda.

Menghadapi kasus ini, kami menunjukkan arah atau bila diperlukan mengantarkan jamaah hingga ke terminal yang dimaksud. Bila jamaah haji Lansia dan dibutuhkan kursi roda karena kelelahan atau jauhnya jalan kaki, kami mencarikan kursi roda dan mendorongnya hingga ke terminal.

Selain kebingungan menentukan arah terminal, juga kebanyakan jamaah haji terutama yang Lansia tidak tahu tempat tinggalnya. Dia tertinggal dan terpisah dari rombongan jamaah thawaf dan sa’i atau rombongan sholat maktubah. Ditanya tinggal di mana, tidak tahu. Kloter berapa tidak tahu.

Dalam menghadapi kasus ini, mitigasinya sama dengan kasus sejenis yang terjadi di mas’a.

Ada lagi kasus istri terpisah dari suaminya atau suami terpisah dari istrinya atau anak dari orang tuanya atau dengan teman rombongan jamaahnya. Mereka saling mencari dan kebingungan menemukannya.

Menghadapi kasus ini, kami berkoordinasi dengan sesama petugas di Sektor Khusus untuk menemukan orang yang terpisah ini dengan cara memfoto yang bersangkutan dan identitas yang diperlukan. Lalu, diunggah ke grup Sektor Khusus.

Cara lain, kami menelpon yang bersangkutan bila membawa HP, atau berkoordinasi dengan ketua Kloter dan ketua rombogannya.

Dalam banyak kasus, masalah ini teratasi dan ditemukan hingga akhirnya mereka bertemu dan kembali bersama keluarga atau rombongannya.

Inilah sejumlah kasus yang saya temui saat saya bertugas di sektor Khusus Masjidil Haram selama dua hari pertama kedatangan di Mekah. []