Pembelajaran dari Haji (1)
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor ISIF)
PLURALISME MENJADI KESADARAN
ISIF CIREBON – Tanpa kesadaran pluralisme, ibadah haji tidak akan terselenggara dengan baik. Tanpa kesadaran pluralisme, setiap jamaah haji akan sibuk menyalahkan, membid’ahkan, dan menyesatkan amalan jamaah haji yang lain. Bukan ibadah yang dilaksanakan, tetapi debat, tuduh-menuduh, dan bisa jadi saling membunuh akibat perbedaan yang dipraktikkan.
Kita tahu, dalam pelaksanaan ibadah haji di Mekah kumpul jutaan umat Islam dari berbagai negara yang memiliki paham, aliran, madzhab, dan anutan tokoh yang berbeda-beda.
Dalam satu barisan shalat, ada yang takbiratul ihram dengan mengangkat tangan, ada yang tidak. Setelah takbiratul ihram, ada yang tangannya sedakep, ada yang tidak. Ketika baca surat al-Fatihah, ada yang diawali dengan bismillah, ada yang langsung alhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Pada jamaah haji perempuan, ada yang sholat memakai mukena berwarna-warni, ada yang pake baju biasa tampak tangannya, tampak rambutnya, dan ada yang mengumpul sesama jamaah perempuan, ada yang bersanding dengan jamaah laki-laki, dan seterusnya.
Walhasil, praktik ibadah selama pelaksanaan ibadah haji beragam, berbeda, beraneka, dan berwarna. Ntah karena pahamnya, alirannya, madzhabnya, atau karena ketidaktahuannya.
Dalam pelaksanaan ibadah haji, kumpul semua pengikut aliran dan madzhab dalam Islam: Syiah, Sunni, Wahabi, Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Ja’fariyah, Ibadliyyah, Zaidiyyah, Dhohiriyyah, dan yang tidak bermadzhab.
Kalau mereka adalah ekstremis agama yang hanya memutlakan pahamnya, lalu memaksakan pahamnya kepada orang, maka tentu ibadah haji menjadi ajang debat, baku hantam, saling menuduh, dan bisa jadi saling membunuh karena menghalalkan darah orang yang berbeda paham dengannya.
Akan tetapi, nyatanya tidak terjadi. Tidak ada perdebatan, tidak ada baku hantam, dan apalagi juga tidak ada pembunuhan karena perbedaan ini.
Mereka semuanya melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya, dan menghargai keyakinan dan praktik keagamaan orang lain. Meski berbeda, mereka diam dan menghargai.
Perbedaan bukan hanya dalam keyakinan dan praktik ibadah, tetapi juga dalam ekspresi keagamaan.
Sungguh menjadi potret kehidupan keagamaan yang menarik dan so sweet. Setiap orang meyakini keyakinannya dan mempraktikkannya secara sungguh-sungguh tanpa menyalahkan keyakinan orang lain.
Maha benar Allah dalam firman-Nya:
قُلۡ اَ تُحَآجُّوۡنَـنَا فِى اللّٰهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّکُمۡۚ وَلَنَآ اَعۡمَالُـنَا وَلَـكُمۡ اَعۡمَالُكُمۡۚ وَنَحۡنُ لَهٗ مُخۡلِصُوۡنَۙ ١٣٩
“Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu hendak berdebat dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu, dan hanya kepada-Nya kami dengan tulus mengabdikan diri.”
Menurut saya, inilah toleransi. Inilah Islam. Beragam. Berbeda. Beraneka. Berwarna. Tetapi saling menghargai dan menghormati.
Diakui atau tidak, mereka sesungguhnya telah mempraktikkan kesadaran pluralisme dalam praktik keberagamaan. []