by Admin | 26 Sep 2024 | Berita
Oleh: Abdulloh (Sekretaris Pusat Gus Dur Studies)
ISIF CIREBON – Di tengah tingginya imbauan tentang pentingnya pendidikan, banyak masyarakat kelas bawah yang menganggap tidak penting untuk melanjutkan hingga ke jenjang perguruan tinggi karena biaya yang mahal. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja, mereka sudah merasa kesulitan.
Harga komoditas yang tidak bersahabat dan kenaikan harga pupuk semakin menyulitkan para petani. Sehingga, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi bagi anak-anak mereka hanya menjadi mimpi belaka.
Namun Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), sebuah perguruan tinggi swasta yang lahir dari rahim para aktivis, peduli terhadap kemaslahatan bersama, memberikan harapan baru. Belum lama ini, ISIF mengunjungi masyarakat kelas bawah di Blok Karangsetu, Desa Cempaka, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, untuk menawarkan konsep ‘Desa Kampus-Kampus Desa’.
Konsep ini bertujuan memberikan kesempatan kepada anak-anak petani, buruh pengrajin rotan, dan buruh bangunan untuk mendapatkan pendidikan tinggi dengan mudah dan terjangkau. Dengan konsep ini, mahasiswa tidak lagi belajar di gedung-gedung tinggi, tetapi di desa mereka sendiri.
Dalam kesempatan itu, di hadapan puluhan masyarakat desa, tokoh agama, sesepuh desa, dan remaja. Rektor ISIF, KH Marzuki Wahid menjelaskan, kampus desa ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tinggi tanpa harus datang ke kampus, memakai sepatu, atau berpakaian formal.
“Kita menetapkan desa sebagai kampusnya. Jadi mahasiswa bisa belajar sesuai dengan kultur dan budaya masing-masing. Ijazah yang dikeluarkan ISIF setara dengan kampus lainnya. Lulusan ISIF sudah banyak yang tersebar di berbagai tempat dan bekerja sesuai dengan keterampilan jurusan yang mereka ambil di ISIF,” kata KH. Marzuki Wahid.
Kunjungan dari civitas akademika ISIF ini mendapat respon luar biasa dari tokoh agama setempat, Mustari, menurutnya, di wilayah blok tempat tinggalnya, tidak ada satu pun sarjana.
“Dengan kehadiran ISIF ini, saya pribadi akan mendorong masyarakat, khususnya di blok kami, untuk mengikuti konsep kampus desa-desa kampus ini. Ini akan menjadi sejarah bagi kami, bahwa blok kami akan memiliki sarjana,” ungkap Mustari.
Dengan konsep ‘Desa Kampus-Kampus Desa’, ISIF berupaya mendekatkan pendidikan tinggi kepada masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan oleh tingginya biaya dan hambatan akses. Program ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi banyak keluarga di desa-desa untuk meraih mimpi mereka mendapatkan pendidikan tinggi dan meningkatkan kualitas hidup mereka. []
Tulisan ini telah dimuat di Kabar Cirebon pada 1 Agustus 2024 dengan judul: ISIF Tawarkan Solusi Pendidikan Terjangkau melalui Konsep Desa Kampus-Kampus Desa
by Admin | 29 Apr 2023 | Artikel
Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON – Lembaga pendidikan merupakan tempat yang stategis untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi anak didik agar melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, inovatif, dan memiliki moral yang baik.
Namun sayangnya tempat strategis untuk mengembangkan dan menumbuhkan potensi anak itu kini dirusak oleh para pelaku kekerasan seksual. Akibatnya, kini banyak lembaga pendidikan menjadi sarang kekerasan seksual.
Komnas Perempuan mencatat selama periode 2017-2021 kasus kekerasan seksual (KS) di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi, yakni 35 kasus. Diikuti pesantren dengan 16 kasus, dan sekolah menengah atas (SMA) 15 kasus.
Kasus-kasus KS di lembaga pendidikan yang Komnas Perempuan terima tersebut hanya sebagian kecil dari jumlah kasus yang sebenernya terjadi di lingkungan pendidikan. Karena dari beberapa fakta menyebutkan bahwa banyak korban kekerasan seksual menganggap kasus ini sebagai aib.
Terlebih beberapa korban kekerasan seksual justru enggan speak up dan melaporkan kasusnya. Bahkan kalaupun ada korban yang memiliki keberanian untuk speak up dan melaporkan kasusnya, justru akan mendapatkan ancaman dari keluarga dan termasuk dari lembaga pendidikannya.
Akibatnya, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan akan semakin meningkat, dan predator seksual akan semakin merajalela memangsa korban-korban berikutnya.
Ketika hal ini banyak terjadi, sebetulnya kita membutuhkan sebuah sistem regulasi yang mencakup pelaksanaan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dan menetapkannya sebagai hukuman seberat-beratnya. Hal ini tentu untuk mengontrol atau membatasi aksi-aksi yang predator seksual lakukan di lingkungan pendidikan.
Permendikbud
Menyikapi hal tersebut, Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan Penanggulangan Kekerasan Seksual di perguruan tinggi. Dengan lahirnya peraturan tersebut, besar harapan lingkungan pendidikan, wabil khusus perguruan tinggi menjadi tempat aman dari kekerasan, terutama kekerasan seksual.
Dalam pelaksanaannya, peraturan ini mengamanatkan untuk membentuk satuan tugas (Satgas) Pencegahan, Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) yang berisi dari mulai pendidik, tenaga kependidikan dan mahasiswa yang memenuhi kriteria yang telah tertulis di dalam peraturan ini, salah satunya adalah pernah mendampingi korban kekerasan seksual.
Satgas PPKS yang sudah perguruan tinggi bentuk nantinya akan mengawal dan mengusut tuntas apabila terdapat laporan dari korban kekerasan seksual dan akan memberikan rekomendasi sanksi bagi pelaku.
Namun sayangnya, perhatian instansi-instansi pendidikan terhadap amanat peraturan ini masih minim. Dari ratusan ribu perguruan tinggi yang ada di Indonesia, cuma baru beberapa perguruan tinggi yang menerapkan peraturan ini dengan membentuk satgas PPKS.
Kasus di Jawa Barat
Di Jawa barat misalnya, jumlah perguruan tinggi yang ada di Jawa barat kurang lebih sekitar 500 perguruan tinggi. Dari jumlah tersebut sampai saat ini, hanya sekitar 10 perguruan tinggi yang baru membentuk satgas PPKS.
Padahal, menteri pendidikan secara terang-terangan mengancam akan memberikan sanksi administratif berupa pemberhentian saluran bantuan, sarana prasarana. Bahkan ancaman untuk penurunan akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Akibat karena kurangnya perhatian terhadap kasus kekerasan seksual membuat ancaman Menteri Pendidikan tidak terlalu memberikan pengaruh bagi para instansi perguruan tinggi. Termasuk tidak berpengaruh untuk segera gerak cepat (gercep) dalam membentuk satgas PPKS. Mungkin saya lebih menyarankan untuk memberikan sanksi yang lebih berat, misalnya pencabutan izin operasionalnya. Hal ini agar pembentukan satgas PPKS di masing-masing kampus bisa lebih cepat terrealisasi.
Oleh sebab itu, saya berharap setiap perguruan tinggi yang ada di Indonesia sebaiknya memiliki Satgas PPKS. Pasalnya dengan adanya Satgas PPKS setidaknya memberikan ruang aman bagi korban serta mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Dengan begitu pelaku-pelaku kekerasan seksual di kampus bisa mikir beribu-ribu kali ketika hendak melancarkan aksinya. []
*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 18 Oktober 2022 dengan judul: Minimnya Perhatian Lembaga Pendidikan Terhadap Kekerasan Seksual
by Admin | 8 Aug 2022 | Publikasi Ilmiah
(sumber foto: jabar.nu.or.id)
Oleh : Ahmad Kamali Hairo (Alumni Pesantren Winong dan Direktur LADADI Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon)
Rasa nasionalisme adalah sikap kebangsaan atau cinta tanah air suatu bangsa yang tumbuh karena cinta terhadap bumi kelahirannya. Terusirnya kolonialisme-kolonialisme yang bercokol menjajah bangsa Indonesia, tidak lain karena tumbuhnya kekuatan rasa nasionalisme bangsa Indonesia untuk melepaskan diri mereka dari sistem perbudakan kemanusian itu.
Para pejuang Indonesia tanpa mengenal lelah, bahkan rela berkorban demi bangsa dan negaranya, tidak lain karena begitu sangat mengakarnya rasa cinta tanah air dalam hati mereka, hingga terwujudlah simbol hubbul watol minal iman sebagai kekuatan untuk menumbuhkan nilai-nilai pendidikan toleransi pada generasi bangsa selanjutnya.
Suatu bangsa atau negara yang tidak memiliki sistem pendidikan nasionalisme akan mudah dihancurkan oleh musuh negara. Pendidikan toleransi bukan hanya sekedar simbol kecintaan terhadap tanah air, lebih dari itu yaitu sebagai simbol perlawanan terhadap sistem kolonialisme, kapitalisme, radikalisme, dan liberalisme yang dapat merusak keutuhan suatu bangsa.
Munculnya kelompok-kelompok ekstrimis di suatu negara merupakan sebuah bukti bahwa rasa nasionalisme pada benak bangsanya telah mulai menipis dan luntur. Disinilah peran penting bagi pemerintah dan lembaga pendidikan nasional untuk menerapkan pendidikan nasionalisme atau cinta tanah air kepada peserta didiknya melalui rumusan kurikulum yang berbasis pada Pancasila.
Dalam konteks ilmu akhlak, rasa nasionalisme atau cinta tanah air merupakan bagian dari moral, yaitu sikap setia kepada Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, sebagai salah satu wujud ketakwaan manusia selain berbakti kepada Allah, Rasul, dan orang tua. Hal itu sebagaimana yang dituliskan oleh KH. Mustahdi Hasbullah dalam kitabnya “Hey Kabeh Bocah”, yaitu:
Supaya dadi lanang sejati
Lamona wadon, wadon kang bakti
(Supaya menjadi lanang sejati,
Kalau perempuan menjadi perempuan sejati)
Bakti ing Allah lan utusane
Lan tanah air lan wong tuane
(Berbakti kepada Allag dan utusannya,
Dan tanah air serta orang tuannya)
Petikan syair di atas, menejelaskan bahwa cinta tanah air bukan hanya sekedar simbol-simbol kebangsaan, melainkan sebuah perilaku positif yang harus dimiliki oleh setiap bangsa. Dengan nasionalisme, suatu bangsa atau negara akan tetap utuh dan berjaya di atas penjajahan dunia. Perilaku nasionalisme bisa diaplikasin melalui beberapa kegiatan yang memiliki nilai edukatif bagi peningkatan daya semangat nasionalisme apapun itu bentuknya. Nilai-nilai pendidikan cinta tanah air yang dirumuskan oleh KH. Mustahdi adalah konsep nasionalisme sebagai wujud dari moral bangsa sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Hubungan Toleransi, Cinta Tanah Air dan Moral
Toleransi adalah sikap saling menghargai dalam dinamika perbedaan kehidupa manusia. Sedangkan cinta tanah air adalah sikap kesetiaan terhadap bangsa dan negara. Keduanya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam konteks kebangsaan. Karena nilai-nilai toleransi terwujud dari nilai-nilai cinta tanah air, begitupun dengan sebaliknya.
Cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari dalam hati sanubari seorang warga negara, untuk mengabdi, memelihara, membela, melindungi tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan. Rasa cinta tanah air adalah rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang dimiliki oleh setiap individu pada negara tempat ia tinggal yang tercermin dari perilaku membela tanah airnya, rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negaranya, mencintai adat atau budaya yang ada dinegaranya dengan melestarikan alam dan lingkungan. Belajar dengan tekun hingga kita juga dapat ikut mengabdi dan membangun negera kita agar tidak ketinggalan dari bangsa lain. Menjaga kelastarian lingkungan, tidak memilih-milih teman, berbakti kepada nusa dan bangsa, serta kepada kedua orang tua.
Toleransi merupakan sebuah sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi “kelompok” yang lebih luas , misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum liberal maupun konservatif. Jadi toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.
Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertaqwa kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua agama menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib saling menghargai. Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan akan terbina kerukunan hidup.
Dari beberapa uraian di atas, menegaskan bahwa sikap toleran dan sikap cinta tanah air atau nasionalisme merupakan sebuah wawasan kebangsaan yang bertitik pada sebuah moral bangsa. Jadi hubungan keduanya, bukan hanya sekedar simbol-simbol kebangsaan saja, tetapi sudah menjadi moral atau jati diri bagi sebuah bangsa itu sendiri. Karena identitas sebuah bangsa akan di akui oleh dunia, ketika bangsa itu memiliki moral bangsa.[]
by Admin | 4 Aug 2022 | Publikasi Ilmiah
(sumber foto: laduni.id)
Oleh : Ahmad Kamali Hairo (Alumni Pesantren Winong dan Direktur LADADI Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon)
Allah SWT telah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Semua itu pada dasarnya agar mereka lebih saling mengenal satu sama lainnya dan saling menghargai. Karena pada dasarnya manusia di hadapan Allah SWT adalah sama dan yang membedakan di antara mereka adalah kadar ketakwaannya saja.
Ketakwaan adalah simbol kepatuhan manusia terhadap Tuhan yang telah menciptakan dimensi pluralitas alam semesta ini. Maka tidak patut bagi manusia untuk menciptakan sikap intoleransi atas nama perbedaan. Bukan tugas manusia untuk merusak tatanan pluralitas semesta, melainkan mencari titik harmonisme dalam perbedaan.
Pendidikan toleransi menjadi unsur yang sangat urgen bagi terciptanya harmonisasi keseimbangan antara kutub-kutub perbedaan yang menjadi kotak-kotak dalam menghambat komunikasi antara individu atau sekelompok manusia.
Seringkali terjadinya chaos atau kekacauan di atas muka bumi ini, ialah karena manusia sangat mis-komunikasi dalam mendalami hakikat perbedaan, baik yang menyangkut perbedaan teologi, politik, budaya, etnis, bahasa, dan sosial, serta unsur-unsur lain yang melingkari kehidupan manusia.
Pendidikan toleransi sangat relevan jika di aplikasikan dalam dunia pendidikan. Karena ia adalah kunci untuk membuka sekat-sekat kejumudan fikroh peserta didik yang cenderung melakukan bully atau tidakan kekerasan di lingkungan pendidikan atas nama perbedaan budaya dan status sosial. Hingga kalau dibiarkan tanpa ada pembinaan, mereka kelak akan menjadi generasi yang anarkis, radikalis, dan liberalis dalam menyikapi segala permasalahan manusia yang syarat akan kepluralaan dan kompleksitas.
Seperti munculnya kelompok-kelompok intoleran dan yang sejenisnya yang tumbuh dan berkembang biak di Indonesia. Gerakan mereka sangat masif dan militanisme dalam menyebarkan doktrin-doktrin anti Pancasila.
Mereka tidak memahami, bahwa kekuatan dalam menjaga persatuan dan kesatuan di Indonesia adalah asas Pancasila, yang menjadi ideologi bangsa dalam berfikir, berpolitik, beragama, dan berbudaya bangsa Indonesia di atas lingkaran pluralitas bangsa Indonesia.
Dalam konteks keindonesiaan, Pancasila bukan hanya sekedar menjadi ideologi bangsa Indonesia, tetapi juga menjadi peletak dasar bagi pendidikan toleransi.
Diumpamakan sebagai sebuah wadah, pendidikan toleransi adalah wadah yang sangat luas untuk menampung segala macam bentuk perbedaan yang ada dalam kehidupan manusia.
Ia adalah wadah yang mengolah perbedaan itu menjadi sebuah produk manusia yang memiliki sikap keluhuran, yaitu saling menghargai dan menyanyangi antar sesama. Jika itu terwujud dengan baik, maka pendidikan toleransi menjadi brand yang sangat mahal bagi terciptanya kedamaian dunia.
KH. Mustahdi Hasbullah adalah salah satu tokoh pendidikan moral yang berasal dari kalangan Pesantren Winong, yang sangat intens dalam mengkampanyekan arti pentingnya nilai-nilai pendidikan toleransi bagi manusia.
Pemikiran beliau tentang itu, sebagaimana yang tercantum dalam sebuah syair Jawa dalam kitabnya “Nadzam Jawen Masalah Khilafiyah” berikut ini:
Kang seneng ing adzan qomat adzanana
Kelawan neja dzikir hikmah uga ana
(Yang suka adzan dan iqomat silahkan adzan,
Dengan niat dzkir ada hikmahnya)
Malah lamun niat dzkir dadi sunah
Ing kabeh tingkah liyan qodil hajat
(Bahkan jika dengan niat dzikir, maka bisa menjadi sunah,
Pada semua perbuatan tuan hajat)
Ingkang sungkan adzan aja gawe resah
Gawe ribut kang lagi kenang susah
(Yang tidak suka adzan jangan membuat resah,
Membuat keributan pada orang yang terkena kesusahan)
Kelingana ganjarane ngirim mayit
Rong timbangan bebungah warise mayit
(Ingatlah pada pahalanya mengirim doa kepada orang mati,
Dua timbangan seperti menggembirakan ahli warisnya orang mati).
Secara tekstual, beberapa petikan teks syair jawa di atas memang tidak mendeskripsikan pada subtansi etimologi atau terminologi pendidikan toleransi. Melainkan mendeskripsikan pada makna simbolik atau falsafah tentang niai-nilai pendidikan toleransi yang terkandung dalam pembahasan khilafiyah (kontroversial) hukum mengumandangkan adzan dan iqomat di atas kuburan pada saat prosesi pemakaman jenazah.
Ada yang berpendapat hukumnya bid’ah dan ada juga yang berpendapat sunnah, sebagaimana informasi dalam kitab tersebut yang mengutip beberapa pendapat ulama, seperti dalam kitab i’anah, dan syarh al-‘ubab. Perbedaan dalam itu sangatlah wajar, mengingat orientasi masalahnya berkutat pada unsur parsilia (cabang-cabang agama), bukan pada unsur teologia (pokok agama).
Terlepas dari pro-kontra masalah tersebut, yang terpenting bagi kita (umat Islam) adalah menyikapinya dengan rasa bijaksana (moderat/moderasi beragama), tidak dengan rasa fatanisme buta atau arogansi, yaitu menghormati dan menghargai setiap indvidu atau kelompok minoritas maupun mayoritas yang melakukan adzan-iqomat di kuburan ataupun sebaliknya.
Sebagaimana titik ajaran toleransi yang terdapat dalam penggalan syair “Kang seneng ing adzan qomat adzanana (yang suka adzan-iqomat di atas kuburan silahkan melakukan) dan Ingkang sungkan adzan aja gawe resah (yang tidak suka adzan-iqomat di atas kuburan jangan membuat keresahan)”.
Sungguh estetik makna kearifan yang diajarkan oleh KH. Mustahdi Hasbullah dalam syair itu sebagai simbol dari nilai-nilai pendidikan toleransi.
Sikap ini sangat penting bagi kita untuk menciptakan harmonisasi kehidupan manusia di tengah-tengan lingkaran perbedaan pendapat yang selalu muncul setiap saat.
Tanpa sikap moderat, justru akan muncul beberapa kelompok radikalis, ekstrimis, dan liberalis yang siap mengancam harmonisasi tatanan sosial manusia. Dan pada saatnya kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara akan hancur, porak-poranda hanya karena sebab perbedaan furu’iyyah yang sangat akut, seperti yang terjadi kawasan Timur Tengah, Afrika dan sekitarnya.
Titik ajaran kearifan lain yang terdapat dalam kitab tersebut adalah saling menghargai perbedaan pendapat dalam hukum melaksanakan qunut subuh. KH. Mustahdi Hasbullah berkata tentang itu, yaitu:
Ingkang bagus ayuh kita ngenggo qunut
Lamun sungkan aja nacad wong kang qunut
(Yang bagus ayo kita menggunakan qunut,
Jika tidak suka jangan menjelek-jelekan orang yang berqunut)
Petikan syair Jawa di atas, menegaskan kembali bahwa saling menghormati, saling menyayangi dalam menyikapi perbedaan pendapat merupakan bagian dari dimensi nilai-nilai toleransi yang harus terus dipupuk dan dikembangkan dalam kehidupan manusia yang penuh dengan sisi pluralitas.
Umat Islam yang suka dengan qunut tidak boleh mencaci umat Islam lain yang tidak suka qunut, begitupun dengan sebaliknya.
Melalui qunut subuh tersebut, KH. Mustahdi Hasbullah mengajak kita untuk merayakan perbedaan pendapat dengan toleransi, bukan dengan cacian dan makian.
Selagi perbedaan itu bukan pada tataran teologia atau ushuluddin. Karena toleransi adalah spirit untuk meningkatkan vitalitas semangat kerukunan bertetangga, berbangsa, dan bernegara antar umat beragama di belahan dunia ini. []