by Admin | 16 Nov 2022 | Berita
Ketika Islam bermula, perempuan memiliki akses dan peran setara terhadap teks kitab suci, yang memungkinkan mereka membentuk otoritas penafsiran. Namun, seiring waktu, peran itu tenggelam dan banyak tafsir lahir tanpa disertai sensitivitas gender.
Peneliti sejarah Islam dari Perancis, Samia Kotele menyebut salah satu prinsip dalam agama Islam adalah kesetaraan. Karena prinsip itu pula, sejumlah perempuan di era Nabi Muhammad, mampu memulai tradisi dalam bidang keagamaan. Peran perempuan dalam tafsir, misalnya, sudah terlibat. Namun, seiring waktu, peran perempuan dalam agama menjadi semakin terpinggirkan.
“Partisipasi perempuan dalam ranah keagamaan menurun seiring dengan perkembangan ranah produksi keagamaan dan konstruksi normatif, itu sekitar abad ke delapan,” kata Samia.
Kandidat Ph.D di Institut Studi Politik, Lyon, Prancis, itu berbicara dalam kolokium ulama perempuan seri pertama, pada Minggu (26/12) malam. Tema yang dibahas adalah pertanyaan bernada protes: Mengapa Ulama Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah. Samia telah melakuan penelitian berkaitan dengan isu tersebut selama dua tahun, dan akan memulai penelitian lapangan di Indonesia saat ini.
Marginalisasi dan Interpretasi
Dalam konteks masa lalu, lanjut Samia, muncul sekelompok perempuan di lingkaran terdekat Nabi, yang punya akses terhadap teks kitab suci. Fenomena marginalisasi mulai terlihat jelas pada saat itu dibuktikan dengan hanya sekelompok perempuan tertentu yang memiliki akses terhadap teks keagamaan.
“Perempuan di lingkaran Nabi tidak hanya berpartipasi dalam produksi keilmuan Islam, tetapi juga terlibat dalam tradisi pemikiran kritis di dalam keilmuan tersebut,” tambah Samia.
Penurunan peran ulama perempuan seiring waktu melahirkan kondisi baru terkait interpretasi teks keagamaan.
“Marjinalisasi perempuan dalam tradisi ini, memungkinkan ulama laki-laki untuk menginterpretasikan ayat-ayat suci dalam perspektif laki-laki,” ujarnya lagi.
Karena kondisi itulah, Samia menilai suara para ulama perempuan tetap tidak terdengar, sebab terpinggirkan dari domain ideologis.
Indonesia menjadi penting dalam kebangkitan peran ulama perempuan di abad ke-20. Ketika Muhammadiyah berdiri misalnya, mereka langsung mendirikan organisasi nasional untuk perempuan. Selain itu, dalam peta muslim dunia, peran Indonesia juga penting, dan salah satu yang paling penting adalah terkait pendidikan.
Di Indonesia, pendidikan bagi perempuan sudah ada sejak awal, misalnya melalui pesantren. Meski tetap muncul perbedaan, setidaknya kesempatan menempuh pendidikan bagi perempuan cukup terbuka jika dibandingkan dengan kondisi di mayoritas negara berpenduduk muslim lainnya, khususnya di wilayah Arab.
Karena sejarah panjang itu pulalah, kelahiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 dapat dipahami. KUPI sendiri mendefinisikan ulama perempuan sebagai orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki perspektif gender untuk memahami teks-teks keagamaan.
Hilang dari Sejarah
Aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia menilai penelitian yang dilakukan Samia sangat penting bagi sejarah gerakan perempuan Indonesia. Ita sendiri saat ini tengah melakukan penelitian terkait marginalisasi gerakan perempuan Indonesia, sesudah peristiwa 65.
“Peristiwa 30 September 1965 itu mempunyai dampak yang sangat besar, terhadap gerakan perempuan, termasuk gerakan ulama perempuan,” kata Ita yang juga turut mendirikan Komnas Perempuan.
Fakta peminggiran peran ulama perempuan, dinilai Ita sangat jarang dibahas dalam kajian sejarah Indonesia. Padahal hal tersebut penting, untuk menjadi pengetahuan bersama.
Karena keterbatasan sumber tertulis, narasi oral nampaknya akan menjadi sumber data dalam studi semacam ini.
“Ini akan memanggil kembali memori dari ulama perempuan, tentang bagaimana perjuangannya, dan ini penting disimpan sebagai arsip,” tambah Ita yang juga aktif di Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia (RUAS).
Ita bahkan menyebut, gerakan perempuan tidak hanya dibungkam, tetapi dibunuh oleh sejarah.
Akibat pembungkaman panjang itu, banyak pihak di Indonesia bahkan tidak menyadari keberadaan dan peran ulama perempuan, seperti dikatakan Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Cirebon, Jawa Barat, Marzuki Wahid.
“Kita baru sadar ada ulama perempuan dan istilah ulama perempuan, akhir-akhir ini, terutama ketika ada KUPI dan sebelumnya. Betapa pentingnya kehadiran dan peran ulama perempuan dalam panggung sejarah dan panggung kehidupan hari ini,” kata Marzuki.
Seluruh proses perbincangan mengenai sejarah dan peran ulama perempuan, penting untuk dicatat karena KUPI akan menyelenggarakan kongres keduanya pada November 2022.
Pengurus KUPI sekaligus pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Nur Rofiah turut menyampaikan keprihatinannya atas kondisi yang menimpa ulama perempuan di Indonesia.
“Benar-benar sosoknya seperti tidak ada. Banyak ulama perempuan penting, tetapi dalam narasi sejarah tidak muncul sama sekali,” ujar Nur Rofiah.
Dia memberi contoh, Sultanah atau Sultan perempuan di Aceh yang meski perannya besar dalam sejarah Indonesia, tetapi tidak muncul dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Sementara dalam Islam, banyak pula tokoh ulama perempuan yang dahsyat, namun tidak muncul dalam tarikh Islam.
“Misalnya Ummu Salamah, yang baru kita tahu belakangan setelah gencar kita bicara perspektif perempuan, termasuk dalam sejarah,” tambah Nur Rofiah. [ns/rs]
Sumber: Tulisan telah dimuat di voaindonesia.com pada 27 Desember 2021.
by Admin | 3 Aug 2022 | Publikasi Ilmiah
(Sumber foto : Duniasantri.co)
Oleh : Sofiniyah Ghufron (Sekretaris Prodi Ekonomi Syaria’ah ISIF dan Tenaga Ahli pada TP2S-Setwapres RI)
Stunting adalah kondisi dimana seorang anak mengalami kegagalan pertumbuhan dan perkembangan akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama yang mengakibatkan penyakit infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan di bawah standar yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesehatan.
Gejala anak stunting ditandai dengan tubuh berukuran pendek, kecerdasan rendah, dan resiko penyakit tidak menular (PTM). Untuk mencapai kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga, pemerintah telah melakukan upaya Pencegahan percepatan stunting pada kelompok sasaran yang meliputi remaja, calon pengantin, ibu hamil dan menyusui untuk mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD).
Anemia dan Dampaknya Bagi Kesehatan Remaja Putri
Masa remaja merupakan tahapan kehidupan yang sangat penting untuk menentukan kualitas kehidupan di masa yang akan datang. Indonesia, memiliki jumlah 45 juta remaja, artinya 17 % dari total populasi masyarakat Indonesia adalah remaja, dan sebagian dari mereka mengalami malnutrisi (BPS, 2020). Hal ini berpotensi menimbulkan dampak yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi dan terhadap progres SDG’S (WHO, 2014).
Namun, jika bonus demografi tidak dikelola dengan baik melalui penguatan investasi sumber daya manusia, perbaikan kualitas gizi maka sebaliknya akan menjadi beban yang sangat besar bagi bangsa Indonesia ke depan.
Remaja Indonesia perkotaan cenderung mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, baik berupa makanan cepat saji maupun makanan yang sedang trend, yang secara nutrisi memiliki resiko kurang tepat dan tidak baik bagi kesehatan.
Data Riskesda tahun 2013 bahwa penduduk ≥ 10 tahun kurang mengkonsumsi buah dan sayur cukup banyak yaitu sekitar 96,4% dan remaja adalah kelompok tertinggi yang kurang mengkonsumsi buah dan sayur yaitu sebesar 98, 4%.
Gizi seimbang adalah susunan pola hidangan dalam sehari yang memenuhi zat gizi. Permasalahan gizi yang terbesar itu ada tiga kasus, di antaranya :
Pertama, anemia, kasus anemia sangat menonjol pada anak-anak sekolah terutama remaja putri. Remaja putri berisiko tinggi menderita anemia, karena pada masa ini terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat adanya pertumbuhan dan menstruasi, biasanya untuk remaja putri yang mengalami menstruasi tentunya mereka akan kehilangan banyak darah setiap bulannya, itu harus diimbangi dengan asupan gizi yang adekuat.
Kedua, yaitu kasus kurang gizi, faktor ini bisa terjadi karena asupan gizi yang kurang serta faktor ekonomi. Kasus yang ketiga yaitu kegemukan, banyak faktor yang menyebabkan kegemukan seperti kurang aktivitas, kurang asupan serat, terbiasa mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak dan garam.
Kekurangan zat besi (anemi) memberikan kontribusi hingga 20 % terhadap semua kematian pada kehamilan, dan juga terkait erat dengan kejadian stunting. Salah satu penyebab tingginya prevalensi anemia adalah rendahnya asupan zat besi. Aulakh R (2016), menyebutkan bahwa anemia pada remaja dapat menghambat perkembangan psikomotorik, merusak kinerja kognitif dan kinerja skolastik.
Oleh karena itu masalah anemia harus dicegah dan diatasi ketika masih remaja karena remaja nantinya akan menjadi ibu hamil. Memberikan nutrisi yang baik pada saat seorang ibu hamil karena akan berdampak secara permanen pada pembentukan otak, pertumbuhan massa tubuh dan komposisi badan serta metabolisme glukosa, lipid, protein hormon/receptor/gen.
Secara jangka panjang pembentukan otak yang tidak sempurna akan mempengaruhi kecerdasan kognitif dan prestasi belajar. Sedangkan pertumbuhan massa tubuh yang tidak sesuai usia akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Dan lambatnya metabolisme glukosa akan berdampak timbulnya penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, jantung, dan hipertensi.
Pentingnya Konsumsi Tablet Tambah Darah pada Remaja Putri di Pondok Pesantren bagi Percepatan Penurunan Stunting
Pesantren merupakan tatanan/lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Jumlah pesantren yang mencapai 27.222 pesantren dan jumlah santri sebanyak 4.174.146 orang (Data Pondok Pesantren, Kementerian Agama, 2020).
Santri adalah anak-anak atau remaja yang menurut Permenkes No. 25 Tahun 2014, adalah mereka yang berada pada masa transisi dari anak-anak ke dewasa di usia sekitar 10 – 18 tahun dimana pada umur tersebut terjadi masa pubertas yang mengalami banyak perubahan baik perubahan bentuk tubuh, organ vital serta emosi.
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pesantren khusunya santri puteri, pesantren memiliki peran strategis dengan membuat kebijakan berwawasan kesehatan di lingkungan pesantren. Implementasi kebijakan berwawasan kesehatan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Pesantren (PHBS). PHBS juga merupakan cara mencegah timbulnya penyakit menular maupun tidak menular.
Berdasarkan Peraturan Menteri kesehatan RI No. 2269/ Menkes/PER/XI/2011 tentang Pedoman Pembinaan PHBS, PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.
Secara umum ada tujuh indikator PHBS di Pesantren yang ditetapkan, yaitu: (1) Mencuci tangan menggunakan sabun, (2). Mengonsumsi makanan dan minuman sehat, (3). Menggunakan jamban sehat, (4). Membuang sampah di tempat sampah, (5). Tidak merokok, tidak mengonsumsi Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), (6). Tidak meludah disembarang tempat, (7) Memberantas jentik nyamuk dan lain-lain dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan.
Menurut WHO (2011), satu dari tiga perempuan yang tidak hamil pada hampir 500 juta orang, perempuan mengalami anemia yang karena pemasukan zat besi tidak mencukupi. Remaja puteri sangat rentan kekurangan zat besi karena menstruasi, pertumbuhan yang cepat dan peningkatan zat besi jaringan.
Terkait dengan peningkatan kualitas nutrisi para santri khususnya santriwati, yang memiliki resiko mengalami anemia, Pesantren dapat membuat kebijakan penyediaan makanan yang sehat dengan gizi seimbang, menyediakan kantin dan dapur sehat, larangan jajan makanan yang mengandung pengawet, zat pewarna dan tidak hygienis serta memberikan penyuluhan bagi pedagang makanan atau warung tentang pentingnya makanan sehat.
Di samping implemetasi PHBS, pesantren perlu menjalin kerjasama strategis dengan mitra potensial untuk mendukung terwujudnya pesantren sehat, salah satunya dengan Puskesmas. Dalam Percepatan penurunan stunting, pesantren dapat berkoordinasi dengan Puskesmas dalam penyediaan Tablet Tambah Darah (TTD) bagi santriwati (remaja putri) untuk mencegah terjadinya anemia yang sering dialami oleh para santri putri.
Pemberian TTD merupakan cara yang efektif untuk mengatasi anemia apabila dikonsumsi secara rutin akan terjadi peningkatan kadar HB. Menurut penelitian Falkingham et.,al (2010) menyebutkan bahwa konsumsi TTD dapat meningkatkan konsentrasi pada perempuan dan remaja serta meningkatkan IQ pada penderita anemia. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, maka beresiko dan berdampak pada kesehatan remaja di masa yang akan datang salah satunya adalah melahirkan anak stunting. []