Menguji Inklusivisme Agamawan R20
Oleh : Imam Malik Riduan (Dosen Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon; Kandidat Doktor pada School of Social Sciences Western Syndney University, Australia)
ISIF CIREBON – Agama memiliki kapasitas untuk tampil sebagai salah satu jalan keluar bagi persoalan dunia. Pesan itulah yang tampaknya ingin disampaikan oleh forum agamawan R20 (Religion of Twenty) pada 2-3 November 2022 di Bali.
Pemerintah Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 memberikan dukungan penuh kepada inisiatif Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf itu dengan menjadikan ajang R20 sebagai official engagement G20. Dengan demikian, presidensi G20 telah memproklamasikan agama sebagai komponen yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendesain solusi persoalan global. Dengan kata lain, beberapa saat lagi Indonesia akan menutup era peminggiran agama dari ranah publik untuk kemudian berbalik mengampanyekannya sebagai bagian dari solusi bagi tantangan global.
Ketua panitia acara ini, Ahmad Suaedy, dalam tulisannya di Kompas (22/10/2022), mengatakan, acara ini akan dihadiri oleh setidaknya 100 pemimpin agama dunia dan 200 tokoh agama dari Indonesia. Tokoh-tokoh agama itu, menurut dia, datang dari berbagai latar belakang aliran dan sekte.
Tidak seperti seminar dan konferensi serta forum-forum lain, kata Ahmad Suaedy dalam artikelnya, forum ini memberikan kesempatan kepada para pemimpin agama dan sekte itu untuk melakukan refleksi tentang kekurangan dan kelebihan serta tradisi yang negatif ataupun yang positif untuk kemudian mencari jawaban bersama atas apa yang bisa dilakukan oleh agama-agama ini untuk memecahkan berbagai masalah kemanusiaan di dunia.
Melalui tulisan pendek itu, panitia R20 memberikan tiga sinyal penting agar cita-cita menjadikan agama sebagai solusi dapat terwujud. Pertama, inklusivisme. Kedua, kesadaran akan adanya persoalan dalam ekspresi keberagamaan. Ketiga, pentingnya menumbuhkan sikap-sikap reflektif untuk menggali jawaban atas solusi persoalan global dari dalam entitas agama. Untuk menjadikan tiga pesan tersebut sebuah gerakan internasional, terlebih dahulu sikap meminggirkan agama dari ranah publik haruslah diakhiri.
Agama sebagai Masalah
Agama yang diprediksi hanya akan mengisi ruang-ruang pribadi pemeluknya, setidaknya sampai awal abad ke-20 ini, masih eksis memberi pengaruh bagi kehidupan sosial. Para pemikir terkemuka, seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Freudm berpendapat bahwa pengaruh agama secara bertahap akan memudar seiring dengan gelombang sekularisasi akibat masifnya rasionalisasi, birokratisasi, dan urbanisasi. Usaha-usaha meminggirkan agama telah banyak terjadi, konsensus mengenai terpinggirnya agama dari ruang publik sampai saat ini tidak terbukti.
Sayangnya, kini agama lebih dikenal sebagai entitas yang menghambat laju modernisasi. Sikap konservatif kelompok-kelompok agama dianggap sebagai tantangan bagi kemajuan dunia. Secara sangat mengejutkan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dengan jujur mengakui hal tersebut. Pengakuan itulah yang kiranya menjadi kata kunci yang dapat kita gunakan untuk membedah logika R20.
Untuk lebih jelasnya penulis, secara verbatim, akan mengingatkan apa yang telah dikatakan oleh Ahmad Suaedy yang mengutip statement Gus Yahya sebagai inisiator R20 dalam tulisannya di media ini. ”KH Yahya Cholil Staquf melihat situasi dunia dan kemanusiaan kini mengharuskan keterlibatan langsung agama … Ini bukan karena agama punya jawaban terhadap isu-isu tersebut, melainkan justru ada masalah besar di dalam agama-agama itu sendiri yang selama ini coba dihindari untuk dibicarakan dan dicari pemecahannya.”
Secara jujur, inisiator R20 insaf bahwa agama telah menjadi bagian dari persoalan yang ingin dicarikan solusi. Mengenai posisi agama atas persoalan global telah menjadi perdebatan yang panjang. Juergensmeyer (2004) dalam Is Religion the Problem? menggambarkan terjadinya perubahan imajinasi terhadap agama, dalam hal ini Islam, sejak tragedi 9/11.
Bayangan tentang agama yang sederhana dan membawa ketenangan telah digantikan oleh gambaran agama yang politis, bahkan dalam hal-hal tertentu sangat dekat dengan kekerasan. Apakah kini topeng agama telah terkuak dan yang tampak adalah wajah aslinya, atau sebenarnya agama hanyalah korban? Demikian pertanyaan yang dilontarkan Director of Global and International Studies at the University of California, Santa Barbara, itu. Sayangnya, pertanyaan kritis itu sampai saat ini belum menemukan jawabannya.
Senyatanya kita bisa beranjak meninggalkan perdebatan mengenai posisi agama dan menjadikan kedua pertanyaan yang dilontarkan oleh Juergensmeyer sebagai titik tolak untuk memberikan kontribusi kepada kemajuan dunia. Gus Yahya sebagai pemimpin organisasi Islam dengan pengikut terbanyak di dunia ini memilih berangkat dari fakta adanya kelompok agama tertentu yang menggunakan idiom-idiom agama untuk menyulut api perlawanan terhadap narasi pembangunan global.
Sejatinya penulis tidak terlalu sepakat dengan titik dari mana Gus Yahya bertolak. Namun, kesadaran untuk mengakui adanya persoalan dan semangat untuk menjadi bagian dari solusi dari seorang tokoh sebesar Gus Yahya harus diapresiasi. Gagasan ini tentu tidak lahir dari pikiran politis semata tanpa didasari perenungan yang mendalam.
Cara Kaum Beragama Memecahkan Masalah
Agama saat ini lebih sering dianggap hanya sebagai sumber legitimasi, baik oleh kelompok yang mendukung maupun menentang arus global. Agama dalam sejarahnya telah secara unik memiliki fungsi ganda, menjadi justifikasi bagi gerakan progresif, dan pada saat yang sama menjadi sumber legitimasi bagi terjadinya kekacauan.
Studi yang dilakukan oleh Omelicheva dari Departemen Ilmu Politik Universitas Kansas berargumen bahwa sebagai sebuah sistem kepercayaan, Islam (baca agama) memanifestasikan dirinya melalui wacana-wacana, yang tidak hanya memberikan kejelasan pada praktik-praktik keagamaan dan kepercayaan, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen kontrol dan regulasi sosial. Karena itu, tidak berlebihan jika ketua panitia R20 menyebut forum R20 ini sebagai jalur pacu (runway) untuk keberhasilan presidensi G20 tahun 2022 di Indonesia.
Agama sudah saatnya untuk tidak merasa puas hanya dengan menjadi tukang stempel. Agama harus sudah mulai mencari jalan keluar atas persoalan global dari khazanah yang ada dalam dirinya. Lalu bagaimana cara komunitas beragama mencari solusi?
Salah satu pembeda antara kaum beragama dan kelompok lainnya dalam mencari solusi atas permasalahan mereka adalah pada pelibatan Tuhan. Kelompok beragama selalu melibatkan Tuhan, dalam kadarnya masing-masing, dalam setiap langkah yang mereka ambil. Penulis belum menemukan hasil penelitian dalam konteks Indonesia mengenai hal ini.
Laporan sebuah penelitian yang melibatkan 197 jemaah gereja di Midwestern Amerika serikat memberikan clue kepada kita mengenai pelibatan Tuhan dalam usaha seorang beragama. Peneliti, Keneth I dan tim, memaparkan ada tiga model pelibatan Tuhan dalam kegiatan penganut agama saat menyelesaikan masalahnya. Ketiganya secara berurutan adalah self directing, deferring, dan collaborative.
Kelompok pertama, self-directing, teridentifikasi sebagai orang-orang yang menganggap Tuhan telah memberikan karunia berupa kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan kebebasan memilih solusi apa yang seharusnya mereka ambil. Untuk itu, bagi seorang religius yang masuk kategori ini, Tuhan tidak berperan secara langsung dalam proses pemecahan masalah (problem solving).
Orang dengan tipe kedua akan menunggu Tuhan memberikan petunjuk sebelum mereka mengambil sikap untuk menyelesaikan masalahnya. Mereka menganggap Tuhan adalah sumber solusi, karena itu menunggu tanda-tanda dari Tuhan sebelum bereaksi atas apa pun adalah sikap paling religius menurut mereka.
Kemudian kelompok ketiga, collaborative, memilih memosisikan Tuhan sebagai partner dalam hidup. Orang-orang yang masuk pada kategori ini mengatakan, ”Tuhan selalu bersama kami dan memberikan kekuatan.”
Penulis tidak berani menerka-nerka model manakah yang akan dipakai pada perhelatan yang anti-mainstream itu. Bisa jadi R20 akan memunculkan kategori keempat yang belum pernah ada. Di luar semua kategori itu, mengamati cara para pemuka agama menyelesaikan masalah tetaplah sesuatu yang menarik. Apalagi, acara ini disediakan sebagai landasan pacu untuk presidensi G20 yang motonya adalah ”Recover Together, Recover Stronger”.
Tidak ada Kelompok yang Tertinggal
Terlepas di mana Tuhan diposisikan oleh agamawan R20 di Bali nanti, inklusivisme tetaplah harus diupayakan. Seperti yang juga ditulis oleh Suaedy, inisiatif R20 tidak bisa dilepaskan dari pengalaman Nahdlatul Ulama yang keluar dari kedua mainstream cara pandang relasi agama dan negara. Menurut Suaedy, NU bukanlah organisasi masyarakat eksklusif yang memaksakan doktrin agama, juga bukan ormas yang selalu bersepakat dengan skenario sekularisasi. Klaim ini akan diuji dalam mekanisme kerja R20 dalam proses mengambil keputusan.
Disadari atau tidak, arus sekularisasi telah meminggirkan sebagian masyarakat beragama. Munculnya istilah kelompok radikal atau ekstremis dalam diskursus relasi agama dan negara adalah bukti adanya kelompok masyarakat yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh pengusung sekularisme.
Panitia R20 tidak boleh membiarkan ada kelompok yang tertinggal, seekstrem apa pun cara pandangnya, dalam membicarakan agama dan persoalan global. Sejauh apa pun perbedaan cara pandang kelompok yang dianggap radikal, mereka tetaplah komunitas yang memiliki hak bersuara dalam perbincangan mengenai agama. Pelibatan kelompok ekstrem dalam menyusun konsensus R20 akan menjadi salah satu kunci bagi kesuksesan NU untuk terus menjadi aktor pengubah peradaban. []
Sumber : tulisan telah dimuat pada 30 Oktober 2022 di Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/27/menguji-inklusivisme-agamawan-r20