(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Peran Strategis Pondok Pesantren Dalam Upaya Penurunan Stunting Di Indonesia

(Sumber foto : Duniasantri.co)

Oleh : Sofiniyah Ghufron (Sekretaris Prodi Ekonomi Syaria’ah ISIF dan Tenaga Ahli pada TP2S-Setwapres RI)

Stunting adalah kondisi dimana seorang anak mengalami kegagalan pertumbuhan dan perkembangan akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama yang mengakibatkan penyakit infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan di bawah standar yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesehatan.

Gejala anak stunting ditandai dengan tubuh berukuran pendek, kecerdasan rendah, dan resiko penyakit tidak menular (PTM).  Untuk mencapai kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga, pemerintah telah melakukan upaya Pencegahan percepatan stunting pada kelompok sasaran yang meliputi remaja, calon pengantin, ibu hamil dan menyusui untuk mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD).

 Anemia dan Dampaknya Bagi Kesehatan Remaja Putri

Masa remaja merupakan tahapan kehidupan yang sangat penting untuk menentukan kualitas kehidupan di masa yang akan datang.  Indonesia, memiliki jumlah 45 juta remaja, artinya 17 % dari total populasi masyarakat Indonesia adalah remaja, dan sebagian dari mereka mengalami malnutrisi (BPS, 2020). Hal ini berpotensi menimbulkan dampak yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi dan terhadap progres SDG’S (WHO, 2014).

Namun, jika bonus demografi tidak dikelola dengan baik melalui penguatan investasi sumber daya manusia, perbaikan kualitas gizi maka sebaliknya akan menjadi beban yang sangat besar bagi bangsa Indonesia ke depan.

Remaja Indonesia perkotaan cenderung mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, baik berupa makanan cepat saji maupun makanan yang sedang trend, yang secara nutrisi memiliki resiko kurang tepat dan tidak baik bagi kesehatan.

Data Riskesda tahun 2013 bahwa penduduk ≥ 10 tahun kurang mengkonsumsi buah dan sayur cukup banyak yaitu sekitar 96,4% dan remaja adalah kelompok tertinggi yang kurang mengkonsumsi buah dan sayur yaitu sebesar 98, 4%.

Gizi seimbang adalah susunan pola hidangan dalam sehari yang memenuhi zat gizi. Permasalahan gizi yang terbesar itu ada tiga kasus, di antaranya :

Pertama, anemia, kasus anemia sangat menonjol pada anak-anak sekolah terutama remaja putri. Remaja putri berisiko tinggi menderita anemia, karena pada masa ini terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat adanya pertumbuhan dan menstruasi, biasanya untuk remaja putri yang mengalami menstruasi tentunya mereka akan kehilangan banyak darah setiap bulannya, itu harus diimbangi dengan asupan gizi yang adekuat.

Kedua, yaitu kasus kurang gizi, faktor ini bisa terjadi karena asupan gizi yang kurang serta faktor ekonomi. Kasus yang ketiga yaitu kegemukan, banyak faktor yang menyebabkan kegemukan seperti kurang aktivitas, kurang asupan serat, terbiasa mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak dan garam.

Kekurangan zat besi (anemi) memberikan kontribusi hingga 20 % terhadap semua kematian pada kehamilan, dan juga terkait erat dengan kejadian stunting. Salah satu penyebab tingginya prevalensi anemia adalah rendahnya asupan zat besi. Aulakh R (2016), menyebutkan bahwa anemia pada remaja dapat menghambat perkembangan psikomotorik, merusak kinerja kognitif dan kinerja skolastik.

Oleh karena itu masalah anemia harus dicegah dan diatasi ketika masih remaja karena remaja nantinya akan menjadi ibu hamil. Memberikan nutrisi yang baik pada saat seorang ibu hamil karena akan berdampak secara permanen pada pembentukan otak, pertumbuhan massa tubuh dan komposisi badan serta metabolisme glukosa, lipid, protein hormon/receptor/gen.

Secara jangka panjang pembentukan otak yang tidak sempurna akan mempengaruhi kecerdasan kognitif dan prestasi belajar. Sedangkan pertumbuhan massa tubuh yang tidak sesuai usia akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Dan lambatnya metabolisme glukosa akan berdampak timbulnya penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, jantung, dan hipertensi.

Pentingnya Konsumsi Tablet Tambah Darah pada Remaja Putri di Pondok Pesantren bagi Percepatan Penurunan Stunting

Pesantren merupakan tatanan/lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Jumlah pesantren yang mencapai 27.222 pesantren dan jumlah santri sebanyak 4.174.146 orang (Data Pondok Pesantren, Kementerian Agama, 2020).

Santri adalah anak-anak atau remaja yang menurut Permenkes No. 25 Tahun 2014, adalah mereka yang berada pada masa transisi dari anak-anak ke dewasa di usia sekitar 10 – 18 tahun dimana pada umur tersebut terjadi masa pubertas yang mengalami banyak perubahan baik perubahan bentuk tubuh, organ vital serta emosi.

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pesantren khusunya santri puteri, pesantren memiliki peran strategis dengan membuat kebijakan berwawasan kesehatan di lingkungan pesantren. Implementasi kebijakan berwawasan kesehatan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Pesantren (PHBS).  PHBS juga merupakan cara mencegah timbulnya penyakit menular maupun tidak menular.

Berdasarkan Peraturan Menteri kesehatan RI No. 2269/ Menkes/PER/XI/2011 tentang Pedoman Pembinaan PHBS, PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.

Secara umum ada tujuh indikator PHBS di Pesantren yang ditetapkan, yaitu: (1) Mencuci tangan menggunakan sabun, (2). Mengonsumsi makanan dan minuman sehat, (3). Menggunakan jamban sehat, (4). Membuang sampah di tempat sampah, (5). Tidak merokok, tidak mengonsumsi Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), (6). Tidak meludah disembarang tempat, (7) Memberantas jentik nyamuk dan lain-lain dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan.

Menurut WHO (2011), satu dari tiga perempuan yang tidak hamil pada hampir 500 juta orang, perempuan mengalami anemia yang karena pemasukan zat besi tidak mencukupi. Remaja puteri sangat rentan kekurangan zat besi karena menstruasi, pertumbuhan yang cepat dan peningkatan zat besi jaringan.

Terkait dengan peningkatan kualitas nutrisi para santri khususnya santriwati, yang memiliki resiko mengalami anemia, Pesantren dapat membuat kebijakan penyediaan makanan yang sehat dengan gizi seimbang, menyediakan kantin dan dapur sehat, larangan jajan makanan yang mengandung pengawet, zat pewarna dan tidak hygienis serta memberikan penyuluhan bagi pedagang makanan atau warung tentang pentingnya makanan sehat.

Di samping implemetasi PHBS, pesantren perlu menjalin kerjasama strategis dengan mitra potensial untuk mendukung terwujudnya pesantren sehat, salah satunya dengan Puskesmas. Dalam Percepatan penurunan stunting, pesantren dapat berkoordinasi dengan Puskesmas dalam penyediaan Tablet Tambah Darah (TTD) bagi santriwati (remaja putri) untuk mencegah terjadinya anemia yang sering dialami oleh para santri putri.

Pemberian TTD merupakan cara yang efektif untuk mengatasi anemia apabila dikonsumsi secara rutin akan terjadi peningkatan kadar HB.  Menurut penelitian Falkingham et.,al (2010) menyebutkan bahwa konsumsi TTD dapat meningkatkan konsentrasi pada perempuan dan remaja serta meningkatkan IQ pada penderita anemia. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, maka beresiko dan berdampak pada kesehatan remaja di masa yang akan datang salah satunya adalah melahirkan anak stunting. []

Stunting dan Masa Depan Indonesia

Oleh : Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)

Stunting –yang dulu disebut ‘anak kerdil’—masih menjadi pe-er besar bagi bangsa Indonesia. Per tahun 2021 kemarin, prevalensi stunting masih di angka 24,4% (SSGI, 2021) atau sekitar 5,33 juta Balita stuned. Meskipun prevalensi ini mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, namun tidak bisa dipandang enteng.

Saat ini, prevalensi stunting di Indonesia lumayan lebih baik dibandingkan Myanmar (35%), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%). Ini agenda besar yang tidak bisa dikerjakan sambil lalu.

Kita tahu, stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun (Balita) akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Ini terjadi terutama dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yakni mulai dari janin hingga anak berusia dua tahun.

Masalah Multidimensi

Stunting memang masalah kesehatan, tetapi sebab dan akibatnya tidak melulu soal kesehatan. Penyebab langsung tentu saja kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai, tetapi penyebab tidak langsungnya bisa karena ketidaktahuan, akses pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau, sanitasi yang buruk, anggaran yang tidak memadai, ketidakpedulian sosial, dan juga komitmen pemerintah yang kurang kuat.

Dengan begitu, stunting adalah masalah multidimensi. Tidak hanya berdampak pada gangguan kesehatan fisik, stunting juga menimbulkan sistem kekebalan tubuh yang tidak baik sehingga mudah sakit. Lebih dari itu, stunting juga mengganggu kesehatan jiwa dan perkembangan otak, berpotensi memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata dan berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas.

Jika tidak segera diturunkan hingga batas minimal 20 persen dalam standar WHO atau seperlima dari jumlah total anak Balita, maka cepat atau lambat stunting akan menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan sosial, yang pada akhirnya akan memengaruhi kualitas demokrasi kita. Bonus demografi yang hendak kita rayakan pada tahun 2030-2035, bisa jadi gagal panen.

Jurus Pemerintah

Presiden Jokowi sebetulnya telah mengantisipasi kemungkinan buruk ini dengan memasukkan program pangan dan gizi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007). Yakni, terjaminnya ketersediaan pangan yang meliputi produksi, pengolahan, distribusi, dan konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup diharapkan dapat menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada kantong-kantong stunting dalam wilayah Indonesia.

Presiden Jokowi juga sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perpres ini diadopsi dari Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting yang dirumuskan pada tahun 2018. Bahkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pelaksana percepatan penurunan stunting telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting (RAN-PASTI) 2021-2024 (Peraturan BKKBN Nomor 12 Tahun 2021).

Di sini, tampak sekali pemerintah telah menetapkan penurunan stunting sebagai program prioritas pemerintah. Pada tahun 2022 ini, pemerintah mengalokasikan anggaran negara sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung penurunan stunting. Rp34,1 triliun tersebar pada 17 kementerian dan lembaga, dan Rp8,9 triliun dibagikan ke Pemerintah Daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik serta Rp1,8 triliun untuk DAK Nonfisik.

Sebetulnya upaya percepatan pencegahan stunting yang dikomandani oleh Wakil Presiden RI menunjukkan hasil yang menggembirakan. Terjadi penurunan angka prevalensi stunting dari tahun ke tahun. Jika pada awal pelaksanaan Stranas, tahun 2018, angka prevalensi stunting berada pada 30,8% (Riskesdas, 2018), maka pada tahun 2019 turun ke level 27,7% (SSGI, 2019), dan pada tahun 2021, angka prevalensi stunting nasional turun ke level 24,4% (SSGI, 2021). Dengan demikian, telah terjadi penurunan 6,4% selama 2018-2021.

Komitmen pemerintah pun sangat ambisius, prevalensi stunting harus turun pada 14% di tahun 2024. Ini artinya prevalensi stunting harus turun 10,4% poin dalam 2,5 tahun ke depan. Mungkinkah akan tercapai?

Perlunya Konvergensi dan Kolaborasi

Tercapai atau tidaknya target 14% pada tahun 2024 tergantung pada ketercapaian lima pilar berikut. Pertama, apakah komitmen para pemimpin pemerintahan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa/kelurahan semakin meningkat atau tidak untuk menurunkan stunting. Kedua, apakah komunikasi perubahan perilaku kepada masyarakat sasaran semakin efektif atau tidak dalam mengedukasi pentingnya bebas dari stunting. Ketiga, apakah intervensi spesifik dan intervensi sensitif semakin konvergen dan tepat sasaran atau tidak hingga ke masyarakat sasaran di desa-desa yang terpencil, terdalam, dan terluar.

Keempat, apakah ketahanan pangan dan gizi di daerah-daerah kantong stunting semakin meningkat atau tidak. Kelima, apakah sistem, data, informasi, riset, dan inovasi tentang stunting akurat dan dipakai secara efektif atau tidak dalam menurunkan stunting. Tambahan, apakah semua pilar ini betul-betul menyasar pada lima kelompok sosial prioritas atau tidak? Yakni, remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak berusia 0-59 (lima puluh sembilan) bulan.

Selain itu, untuk mempercepat penurunan stunting pemerintah harus fokus pada provinsi-provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi dan provinsi-provinsi dengan jumlah stunting terbesar. Berdasarkan SSGI 2021, ada 7 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, yaitu NTT, Sulawesi Barat, Aceh, NTB, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Sementara provinsi dengan jumlah stunting terbesar ada 5, yaitu: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten (SSGI, 2021).

Jika dalam 2,5 tahun ini implementasi lima pilar tidak ada progres dan peningkatan, maka jutaan anak kerdil di masa mendatang sangat mungkin menghiasi kehidupan bangsa Indonesia. Menurut saya, target ambisius ini tidak akan tercapai jika hanya pemerintah sebagai aktor tunggal dalam penanganan stunting. Sekuat apapun komitmen pemerintah dan sebanyak apapun anggaran yang digelontorkan, jika tidak ada dukungan dan partisipasi penuh dari masyarakat, perguruan tinggi, sektor swasta, dan media (pentahelix stakeholders) rasanya sulit terwujud.

Di sinilah, stunting harus menjadi keprihatinan kita bersama, keprihatinan kemanusiaan, keprihatinan masa depan bangsa, dan bagian dari problem besar manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berkualitas. Stunting tidak cukup hanya menjadi program prioritas pemerintah, tapi harus menjadi program prioritas bangsa. Keterlibatan semua pihak dalam penanganan stunting mutlak adanya. Partisipasi semua pihak akan sangat memengaruhi ketercapaian target prevalensi 14% pada tahun 2024.[]

Artikel ini sudah dimuat di Koran SINDO, pada Rabu, 13 Juli 2022.